Apakah kita ada menyadari bahwa kehidupan sehari-hari itu ada lautan kitab suci pembelajaran?
Bila kita mau memaknai dan merenungi setiap apa yang terjadi atau kita alami pasti ada pembelajarannya.
Bila kita mau mengambil setiap pembelajaran dari yang peristiwa-peristiwa yang kita  alami tentu saja akan memperkaya nilai kehidupan. Ada hal positif yang dapat kita ambil. Karena kita fokus kepada makna dibalik peristiwa yang kita alam, maka kita akan terhindar dari sebagai penilai.
Saya pernah ikut kelas kerohanian, satu hal yang harus dilakukan adalah mencatat setiap peristiwa yang dialami, kapan kejadian dan apa pembelajaran yang dapat dipetik. Lalu renungkan.
Ketika digigit nyamukpun ada pembelajaran yang dapat kita petik. Bahkan ketika melihat sebongkah kotoran kucing. Hal yang sepele sebenarnya. Menjijikkan malahan. Tetapi ada pembelajaran besar dibaliknya. Silakan kita memaknai masing-masing.
Karena pada tulisan ini fokus kepada dua peristiwa yang saya alami hari ini.
Hari ini saya ada acara ke daerah Kebun Jeruk, Jakarta Baeat. Bukan untuk memetik jeruk tentunya. Karena kebunnya saja tidak ada.
Keruwetan dan ketidakdisiplinan pengendara selalu menghadirkan pembelajaran. Apalagi di lokasi perempatan. Sudah sangat tidak teratur kondisinya. Tidak jelas arah mana yang lampu merah atau hijau yang menyala. Ada yang pas lampu merah malah menjalankan kendaraan. Giliran lampu hijau malah berhenti.
Seperti hari ini ketika dalam perjalanan. Â Pas saat lampu hijau menyala saya langsung tancap gas. Eh, dari arah jalan kanan ada seorang bapak melintas sambil melotot dan menunjuk-nunjuk ke arah saya.
Apa-apaan ini? Saya kasih kode dengan menunjuk  ke lampu lalu-lintas. Namun bapak itu matanya tak berhenti melotot.
Kalau ikuti emosi dan hawa nafsu rasanya ingin mengejar bapak itu dan mencolok  kedua matanya biar sadar.
Untuk masih sedikit sadar dan terus melanjutkan perjalanan sambil pikir-pikir pembelajaran apa yang didapat.
Menghadapi orang yang ngotot bin  ngeyel, mau menang sendiri atau merasa dirinya yang benar, lebih baik tidak usah melayani. Sabar dan mengalah saja. Sebab bila ikut ngotot, ngeyel dan merasa benar juga ujung-ujungnya akan saling melukai. Apa untungnya?
Saat tiba di tempat tujuan, sebuah kantor yang nyaman, saya segera menyelesaikan urusan. Karena tidak buru-buru, saya memilih santai dulu. Apalagi tersedia kopi hangat dan alunan musik lembut. Suasana tidak ramai. Makin betah saja. Enak juga dimanfaatkan untuk menulis.
Saat duduk asik bermesraan telepon pintar, saya meletakkan HP saya di sofa. Batin mengingatkan jangan sampai ketinggalan.
Sekitar 1 jam berada di kantor tersebut dengan posisi duduk berpindah-pindah, saya pun pulang. Setelah cukup jauh dan ingat mau menelepon, saya baru sadar HP mungil yang memang khusus saya gunakan untuk menelepon tak ada lagi. Tidak salah pasti ketinggalan.
Segera saya berbalik arah. Sebenarnya ada perasaan enggan. Sempat berbalik arah. Pikiran terus menghasut. Tak usah balik lagi. Pasti sudah hilang. Lagi pula HP harganya tak seberapa.
Sebaliknya hati selalu menguatkan untuk balik kembali. Akhirnya balik lagi dan berharap HP kesayangan masih ada. Karena pulsa dan paket menelepon masih lumayan banyak.
Ternyata memang tidak sia-sia HP ada yang menemukan dan diserahkan ke bagian keamanan. Tidak sia-sia. Padahal kalau hilangpun saya sudah pasrah.
Dalam hidup ini memang yang utama adalah mau mencoba. Walau terkadang ada keraguan yang menyelimuti. Yang penting tidak boleh menyerah. Seringkali diri sendiri melemahkan. Nah, ini yang harus dilawan. Walau telah mencoba tetap ada kemungkinan gagal. Namun tidak mau mencoba pasti gagal hasilnya.
Kira-kira begitulah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H