Mengapa kita heran atau heboh dengan urusan catut-mencatut nama seseorang? Yang namanya mencatut sejak dahulu kalah sudah ada. Mencatut nana raja atau pejabat sudah biasa. Di kalangan rakyat biasa yang jadi mencatut tak sedikit jumlahnya.
Tak Percaya Diri, Menakuti, Cari Keuntungan, Menutupi Kesalahan
Para pencatut hadir dengan berbagai alasan atau desakan. Bisa jadi tak percaya diri akan kemampuannya, sehingga harus mengatasnamakan seseorang yang dianggap punya kekuatan atau kekuasaan.
Selain itu juga bisa untuk menakut-nakuti. Bawa-bawa nama Tuhan atau penjabat ini-itu. Mengaku saudaranya jenderal atau temannya pejabat teras sudah terlalu lazim dilakukan.
Pernah pergi dengan seorang saudara. Karena salah jalur kena tilang polisi. Langsung saudara saya bilang kalau ia temannya jenderal dan sedang hendak ke rumahnya untuk rapat. Mungkin sudah terlalu sering dikibuli oleh para pembuat, sehingga dengan tegas ia bilang tak peduli dengan jenderal. Kalau salah ya harus ditilang. Tetapi ujung-ujungnya damai dengan uang sepuluh ribu saja. Itu sekitar tahun sembilan puluhan.
Mungkin nama yang paling sering digunakan para pencatut adalah yang bernama rakyat. Sudah terlalu banyak kali dipakai, sehingga susah untuk menjumlahkan.
Para pencatut tahu bahwa nama rakyat sangat menjual dan menguntungkan demi untuk mendapat simpati dan dukungan untuk dirinya. Herannya selalu saja ada yang mau ditipu dengan imbalan selembar dua lembar rupiah.
Tak jarang pun nama rakyat dibawa-bawa seakan-akan apa yang dilakukan semuanya demi rakyat. Dengan tampilan alim dan melankolis untuk meyakinkan. Padahal kebenarannya semua itu sekadar demi untuk menutupi kesalahan. Lucunya gaya akting yang sudah basi ini berhasil mengharubiru hati penonton. Ibarat terasi walau bau-bau tetap disuka. Walau sudah banyak yang muak pula.
Ujung-ujungnya Mendapat Malu Pula
Seperti sudah kita tahu para pencatut hadir dari golongan mana saja. Mau pejabat atau orang melarat. Setinggi negara atau pun pegawai rendahan.
Belum lama ini pegawai kebersihan di tempat kerja saya berani-beraninya mencatut nama manager. Untuk menyelesaikan pekerjaannya ia mengajak pegawai dari bagian lain. Katanya itu perintah dari Pak Manager.
Apes, aksinya langsung ketahuan karena manager yang dicatut tak lama muncul. Pegawai yang diajak itu langsung menanyakan kebenarannya. Tentu sang manager menjawab tidak pernah menyuruh.
Tak tahu mau taruh di mana muka pegawai kebersihan tersebut. Untung masih berani minta maaf. Namun selanjutnya menjadi bahan guyonan teman-teman di pabrik.
Kalau pegawai kebersihan itu masih berani malu dan minta maaf, apesnya mereka yang dianggap lebih terhormat dan berpendidikan tinggi sudah membuat malu malah tak punya nyali dan tak mau malu dengan menutupi pakai berbagai alibi. Namun dunia sudah tahu dan mencatat dengan rapi.
Ups ada yang merasa malu-malu dan menyimpan rapi kalau pernah juga menjadi pencatut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H