Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Asap

16 Oktober 2015   07:38 Diperbarui: 16 Oktober 2015   08:39 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asap akibat kebakaran hutan memang membuat kita prihatin dan peduli karena sangat mengganggu perekonomian dan kesehatan. Apakah asap akibat kebakaran perilaku yang negatif diri juga membuat kita prihatin dan peduli? 

Asap Akibat Unsur Pembiaran 

Ada julukan baru untuk negeri kita. Negeri Asap. Miris memang. Ini akibat setiap tahun di negeri kita, khususnya di Pulau Sumatra kehadiran asap sudah jadi langganan. Berhubungan dengan asap ini ada lelucon yang menghadirkan senyum kecut. Yakni istilah 'wisata asap'. 

Sejatinya urusan asap ini bukan setahun-dua tahun. Tetapi sudah sekian tahun menjadi momok. Mengapa setelah muncul asap baru ramai menangani. Padahal masalah bisa diatasi sebelum asap itu ada. 

Sebab kebakaran hutan atau lahan gambut ada unsur kesengajaan. Mengapa bukan unsur ini yang ditangani? Masalahnya adalah ada unsur pembiaran. Itu poinnya. Bila akar masalah tidak serius ditanggapi, maka setiap tahun akan muncul masalah yang sama. 

Di sinilah kita tunggu ketegasan pemerintah untuk membereskan akar permasalahannya dengan tuntas, sehingga urusan asap ini tidak lagi menjadi rutinitas kehadirannya setiap tahun. 

Asap di Dalam Diri Kita 

Urusan asap setidaknya sedikit banyak telah menguras energi kita. Keprihatinan, kepedulian, kemarahan ataupun sekadar saling menyalahkan.  

Kita prihatin dengan gangguan kesehatan yang dialami mereka yang berada di dekat atau sekitar lokasi. Bahkan jauh ke seberang negeri. Asap ini tidak pilih-pilih siapa yang akan menghirup. Belum lagi akibat asap ini sangat mengganggu jadwal penerbangan. Bayangkan bila ada yang urusan penting dan mendesak, sedangkan pesawat tidak bisa terbang? 

Ada yang peduli dengan turun tangan langsung atau menyalurkan bantuan. Melakukan gerakan peduli asap atau mengumpulkan bantuan. Ada pula yang marah-marah kepada pemerintah yang dianggap tidak becus menangani masalah ini. Kita pun melampiaskan kemarahan kepada pada pemilik perkebunan yang kita anggap sebagai biang kerok semua ini. 

Semua ini gara-gara asap dan membuat kita sadar ini adalah masalah serius. 

Apakah kita juga sadar akan asap yang mengepul dalam diri kita yang sudah sekian lama mengganggu kesehatan jiwa?   

Asap yang timbul akibat terutama emosi kita yang semakin hari semakin memuncak. Belum lagi asap yang berasal dari mengumbar nafsu-nafsu lainnya. 

Dimana kondisinya lebih parah dengan asap nyata di Pulau Sumatra. Apa sebab? 

Apakah Kita Peduli dan Prihatin dengan Asap di Dalam Diri?  

Kita bisa prihatin, peduli, marah dan merasa miris dengan kondisi asap yang jauh di seberang. Apakah kita juga peduli dan prihatin dengan kondisi asap di dalam diri kita yang sudah membumbung dan bahkan bisa jadi sudah pekat yang terjadi setiap hari? 

Apakah kita juga sadar akibat asap ini membuat jiwa kita 'sesak nafas' dan tercekat?

Bila ada kerendahan hati boleh sejenak kita duduk dan merenungkan dalam-dalam. 

Berapa banyak terjadi kebakaran dalam diri kita yang menciptakan asap dan meracuni diri sendiri? Kemarahan, kebencian, keserakahan, kedengkian, kebohongan, perbuatan dan pikiran yang menimbulkan efek negatif. Semua itu merupakan sumber asap. 

Apakah kita sadar bahwa masalah asap ini juga memerlukan penanganan serius? Bukan oleh pemerintah atau bantuan dari negeri tetangga. Tetapi adalah dari kesadaran sendiri. 

Yang lebih memrihatinkan adalah bila kita masih nyaman dengan kondisi diri yang penuh asap ini. Suka mencaci-maki masih riang tertawa. Mudah menumpahkan emosi dan menyebar benci masih merasa tidak bersalah. Nafsu keserakahan merajalela, sehingga merugikan orang lain masih merasa tak apa-apa. 

Asap-asap yang membumbung yang timbul akibat emosi, serakah, benci, dengki dll telah menutupi jiwa, sehingga membuat kita tak murni lagi kita bersikap. Sebab jiwa kita yang suci tak lagi bisa menjadi tuan rumah. Logika pemikiran, keegoan dan nafsu menjajah. Semua tampak jelas dalam perilaku keseharian kita.  

Bukankah seringkali kita membaca atau mendengarkan orang mengatakan bahwa seseorang telah kehilangan hati nurani. Padahal jangan-jangan nurani kita sendiri yang sudah tak berfungsi dengan baik akibat asap emosi atau asap merasa paling benar sendiri. 

Hari-hari kini hidup kita penuh asap di dalam diri. Apakah ketika asap yang kita ciptakan sendiri telah membuat kita sekarat baru sadar dan bertobat? Ya ampun, tubuh saya ini jadi panas? Jangan-jangan sedang berasap gara-gara terlalu emosi?! Tolooooonng . . . 

katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun