Bicara mampu atau tidak mampu berkenaan dengan kemampuan hidup memang relatif. Standar miskin atau tidak pun masih samar-samar.
Ada yang secara ekonomi tidak mampu. Tapi ia mampu menjalani hidup tanpa berkeluh-kesah. Ada yang secara ekonomi mampu. Tapi sepertinya tak mampu menjalani hidup dengan tiada habis mengeluh.
Ada yang kelihatan hidupnya miskin. Tapi ia tidak berusaha memiskinkin dirinya. Ada yang kelihatan banyak duitnya. Tapi selalu merasa miskin dengan tak pernah merasa cukup.
Kenyataan hidup memang ada yang jelas-jelas tidak mampu dan miskin secara ekonomi. Mereka sangat membutuhkan bantuan.
Ketika pemerintah berniat memberikan kompensasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak dalam bentuk bantuan langsung berupa uang tunai. Walau hanya kisaran ratusan ribu. Kabar itu sudah seperti setetes air di gurun gersang.
Tidak heran ketika hendak dibagikan secara langsung banyak yang rela berpanas-panas mengantri. Menahan haus dan lapar dari pagi sampai siang. Ya, karena mereka memang membutuhkan.
Berkenaan dengan adanya pembagian BLSM oleh pemerintah saya iseng-iseng bertanya pada seorang satpam di tempat kerja.
"Bapak udah terdaftar sebagai penerima balsem?"
"Apaan tuh balsem," jawabnya sedikit bingung.
"Itu tuh yang bantuan dari pemerintah!" terang saya.
Pak satpam baru ngeh dan senyum-senyum. "Oh, itu. Gaklah. Saya belum butuh."
"Loh, bukannya kamu termasuk orang kurang mampu juga?" pancing saya.
"Iya sih. Saya termasuk orang yang kurang mampu. Tapi masih banyak yang lebih tidak mampu dari saya. Biarlah bantuannya itu buat mereka aja."
Saya menyindir,"Masih bisa berpikir waras juga kamu!"
Memang seharusnya yang merasa masih mampu memberikan kesempatan pada yang lebih tidak mampu. Bukannya menutup kesempatan mereka untuk mendapatkan bantuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H