Kucing itu menyebalkan dan bikin saya gondokan bin capai hati.  Eits, yang penyayang kucing jangan sebal dulu.  Setidaknya itu  yang saya rasakan beberapa waktu yang lalu terhadap kucing yang dipelihara teman saya di mess. Jadi saya tidak menyinggung kucing yang lain. Tolong dicatat ya.
Teman saya ini rupanya memang hobi memelihara kucing. Karena sebelumnya sudah ada kucing yang lebih senior. Tapi setelah dua kali melahirkan, keberadaannya sudah entah ke mana. Dimana juga sempat membuat saya kurang nyaman dengan lagaknya.
Nah, kucing yang yunior ini perilakunya sebelas dua belas ha ha ha...Tapi jujur saya sempat merasa kehilangan dan rindu pada kucing itu. Sempat memikirkan juga walau tak sampai nangis bombay.
Kembali ke soal menyebalkan. Bagaimana tidak menyebalkan dan bikin capai hati? Pada saat teman libur saya mau tak mau yang harus memberinya makan. Kalau lapar suara cemprengnya keluar dan akan mengikuti saya sambil menggosok-gosok tubuhnya ke kaki. Bikin geli saja.
Tentu saja dengan senang hati saya akan memberinya makan. Lumayan kan dianggap peduli pada binatang. Cuma memang makanan yang bisa saya berikan sekadarnya. Lah saya sendiri yang manusia saja makan sekadarnya dengan tempe atau telur plus sayur.
Tapi ini kucing dikasih makan nasi campur tempe atau telur malah jual mahal. Padahal sudah lapar tapi menu yang saja sajikan ditolak dengan mentah-mentah. Siapa yang tak gondok, sudah lapar masih mau milih-milih makannya?
Ok, saya masih berbaik hati, mungkin kurang sedap pikir saya. Lalu nasinya saya goreng dicampur dengan bumbu-bumbu. Celakanya si kucing tetap tak doyan. Ya ampun, kucing saja sombong banget. Teman-temannya yang di luar mau makan saja harus mengorek dari tempat sampah dulu.Lah ini?
Padahal kucing ini waktu dipungut teman sudah hampir mati dan waktu itu saya kasih makan nasi putih saja nafsunya minta ampun. Tapi sekarang malah bikin saya teriak 'ya ampun!' Kau sudah berubah, cing!
Saya sebenarnya sadar si kucing sekarang sudah manja dan terbiasa makan daging atau ikan yang diberikan oleh teman setiap harinya. Menu vegetarian dari saya sudah dianggap murahan dan disepelekan.
Mengalami kejadian ini saya jadi menertawakan diri sendiri. Gara-gara kucing saja sampai harus kesal dan gondokan. Padahal banyak hal yang bisa saya jadikan pembelajaran. Bukankah ini kesempatan menjadikan si kucing sebagai guru untuk menjadi lebih bersabar lagi? Sama kucing yang senior saja saya belum lulus, sudah keburu hilang. Bukankah sekarang ada ganti seharusnya senang?
Satu hal yang pasti adalah perlu lebih belajar sabar lagi. Lucu rasanya hanya gara-gara kucing jadi emosi dan marah-marah sendiri. Padahal baru berhadapan dengan kucing.
Saya juga kembali perlu belajar lagi untuk tidak memaksakan kehendak. Apa yang menurut saya baik belum tentu itu baik buat kucing atau orang lain. Vegetarian baik buat saya. Tapi kalau kucingnya tak doyan berarti tidak baik baginya dan saya tidak perlu memaksakan si kucing harus doyan makanan vege. Ini nanti saya bisa dianggap tidak berprikebinatangan oleh paara pecinta kucing. Ampun.
Satu lagi, sebenarnya saya diingatkan untuk bersyukur si kucing itu mau meminta makan dan bermanja ria dengan saya. Minimal saya ada kesempatan untuk menjadi berarti walau pada seekor kucing. Bukankah itu ada artinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H