Sedang asyik duduk di bawah pohon ceri sambil mendengakan lagu-lagu nostalgia, sekelompok karyawan ikut duduk bersama sambil menunggu mobil jemputan datang.
"Permisi, Pak. Ikut numpang duduk ya," sapa salah satunya. Saya cuma tersenyum sebagai tanda menerima kedatangan mereka. Saya tetap konsentrasi dalam semedi. Sesekali balas pesan di aplikasi Whatsapp. Loh, katanya konsentrasi?
Tetapi perhatian saya segera beralih pada topik pembicaraan mereka mengenai gejala sosial yang marak saat ini. Yakni tentang kebutuhan hidup yang berhubungan dengan alat komunikasi dan jejaring sosial.
"Emang Mas sebulan pulsa habis berapa?" tanya yang wanita.
"Paling lima puluh ribu," dijawab sambil asyik mengutak-atik HP.
"Dikit amat sih? Saya aja bisa habis tiga ratusan."
"Oh, itu di luar paket BB."
"Di pabrik aja teman-teman rata-rata di atas seratus loh buat beli pulsa aja!" yang seorang lagi menimpali.
Pembicaraan mulai ramai di antara mereka dengan saling bersahutan. Saya tetap duduk manis menjadi pendengar yang baik. Lumayan bisa buat bahan tulisan.
"Iya sih, sekarang itu kebutuhan pulsa itu sudah seperti beras. Udah kayak kebutuhan utama."
"Padahal dulu gak ada telepon kita tetap hidup aja kok. Sekarang kalau gak ada pulsa hidup jadi bete dan bikin sepi. Punya HP itu udah seperti kebutuhan pokok."