Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kinh

23 Januari 2014   08:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kinh, lahir sebagai seorang wanita di Vietnam Utara, sehingga kurang diterima dalam keluarganya yang lebih mengharapkan seorang anakĀ  lelaki. Ketika remaja sesuai tradisi Kinh dijodohkan dengan pria yang disukai orangtuanya. Kinh harus menerima kenyataan ini sebagai bentuk bakti.

Suatu waktu, ketika sedang menambal baju suaminya yang sobek, sang suami tertidur. Saat itu Kinh melihat kumis suaminya yang kurang rapi lalu hatinya tergerak untuk merapikan dengan menggunakan gunting.

Saat hendak merapikan, tiba-tiba suaminya terbangun, kaget dan berteriak ketakutan melihat Kinh memegang gunting. Malang, niat baik Kinh disalahpahami suami dan mertuanya sebagai kehendak untuk membunuh. Kemudian Kinh harus menerima ketidakadilan dengan diceraikan dan terusir dari rumah.

Sebagai wanita, Kinh tak bisa berbuat apa-apa selain menerima nasibnya. Menghadapi kenyataan ini, Kinh memutuskan pergi ke vihara dengan menyamar sebagai seorang lelaki, agar dapat diterima untuk menjalani proses pembinaan diri dengan bermeditasi.

Itulah sepenggal cerita dari Thich Nanh Hanh dalam ceramahnya yang berjudul 'Transcending Injustice' yang ditulis ulang Gede Prama dan saya sarikan kembali sebabĀ  sangat kaya makna dan menginspirasi saya secara pribadi. Kita bebas memaknainya.

Bagi saya kisah itu begitu komplit sebagi cermin diri, karena di satu sisi saya pernah seperti nasib Kinh tapi di sisi lain saya juga menjadi penyebab apa yang harus dialami Kinh. Hidup memang bagaikan panggung sandiwara.

Kecurigaan yang Berlebihan

Sebuah niat baik, belum tentu akan disikapi dengan baik oleh yang menerima maupun yang melihat. Alih-alih diterima dengan baik dan berbalas terima kasih, yang ada malah dicurigai. Sikap curiga yang berlebihan yang menyebabkan semua ini.

Kecurigaan yang berlebihan ini lahir karena ketidakmampuan memberi ruang untuk berpikir baik dan bersikap bijak. Bisa jadi akibat pengalaman masa lalu. Tapi menyamaratakan semua kejadian dengan kecurigaan, maka akan lahir ketidakadilan.

Bisa jadi kita bersimpati dengan ketidakadilan yang dialami oleh Kinh karena kecurigaan berlebihan sehingga mengalami penderitaan. Tapi terkadang tanpa kita sadari justru kita yang menjadi pelaku atas ketidakadilan dengan kecurigaan kita yang berlebihan itu.

Bisa kita cermati, setiap hari kecurigaan merebak. Pintarnya kecurigaan dikemas dalam bentuk opini. Padahal opini tanpa data dan fakta tak lebih dari namanya mencurigai. Tapi itulah yang terjadi dengan mudahnya kita mencurigai setiap perilaku orang lain dengan asumsi apa yang dapat kita lihat dengan mata. Bahkan dari sekadar apa yang kita baca atau dengar.

Menyikapi Ketidakadilan

Kinh harus mengalami ketidakadilan dengan menikah dengan pria yang hanya disukai oleh orangtuanya. Bukan atas cinta. Tapi Kinh tetap menerima sebagai rasa bakti pada orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan.

Kinh juga harus menerima ketidakadilan atas apa yang tidak pernah diniatkan sekalipun. Dituduh hendak membunuh suaminya dengan bukti gunting di tangan. Padahal niatnya adalah ingin merapikan kumis suaminya.

Ada rasa kecewa, tapi Kinh tidak menyikapi dengan pelarian yang salah. Ia memilih pergiĀ  mencari kedamaian dengan bermeditasi hingga mencapai pencerahan, sehingga dapat meninggalkan semua masa lalunya yang kelam dan kemudian menjadi sosok yang berbeda dalam memandangi hidup.

Bagaimana dengan kita menerima ketidakadilan yang harus kita terjadi? Pengalaman saya sendiri, alih-alih pergi mencari kedamaian malahan mencari ketidaktenangan dengan tidak menerima ketidakadilan itu. Menyalahkan sana-sini,Ā  melampiaskan emosi atau dongkol dalam hati adalah yang seringkali terjadi.

Begitu yang terjadi berulang kali. Pada akhirnya boro-boro pencerahan, justru kekotoran batin semakin menumpuk. Setiap momen berharga untuk mencerahkan hidup berlalu begitu saja karena kebodohan dalam menyikapi. Minimal itulah kebodohan saya. Tapi kisah Kinh ini paling tidak membuat mata hati saya terbuka untuk menyikapi ketidakadilan dalam hidup bila mengalami lagi.

AFIRMASI:

Tuhan, semoga kami selalu dijauhkan dari sifat curiga yang berlebihan, agar tidak terjebak dalam kesalahan yang tidak seharusnya. Berkati kami dengan Cahaya-Mu, agar kami memiliki ruang hati yang lapang untuk menerima setiap ketidakadilan yang harus kami alami sebagai cara untuk mendewasakan kerohanian kami.

@refleksihatidipagihari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun