Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Post-Power Syndrome: Berjiwa Besar Menerima Kenyataan

14 Desember 2013   09:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:57 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Post-power syndrome, sebuah topik yang menarik dan keadaan yang pernah saya alami. Tiga tahun lebih sudah saya berniat menuliskannya. Tapi belum tercapai. Karena ada risih. Baru saat ini mencoba menuliskannya.

Sebuah kebanggaan masa lalu yang menyebabkan ketidak-berdayaan masa kini karena kehilangan rasa hormat dan harga diri. Perlakuan istimewa yang didapat di masa lalu, kini tak berlaku lagi. Tetapi menjadi sebuah pengalaman yang sangat berarti.

*
Bayang-bayang Kebanggaan Masa Lalu



Siapapun bisa mengalami gejala post-power syndrome ini bila terlalu melekat kepada keadaan masa lalunya.

Sudah banyak kita tahu soal post-power syndrome ini. Gejala yang cukup banyak dialami oleh mereka yang kehilangan kekuasaan atau jabatan. Keadaan yang sangat sulit diterima bila belum ada kesiapan mental, sehingga membuat stres bagi yang mengalaminya.

Hal ini sebenarnya bukan hanya dialami oleh yang memiliki jabatan atau kekuasaan dalam sebuah perusahaan. Mereka yang merasa kehilangan karir, ketampanan, kecantikan, dan harga diri bisa mengalaminya.

Ini terjadi karena tidak sanggup melepaskan bayang-bayang masa lalu yang dialami yang sudah mendatangkan gelimang kekuasaan dan pujian.

*
Kehilangan Harga Diri dan Kebanggaan



Betapa beratnya mengalami situasi dimana sebelumnya begitu dihormati dan dihargai lalu menjadi seseorang yang tidak dipandang.

Begitulah yang harus saya alami. Oleh pengorban dan semangat saya yang rela meninggalkan pekerjaan dan 100 persen menyediakan waktu dalam pelayanan. Walau dalam usia yang masih muda ketika itu, namun penghargaan dan penghormatan yang begitu tinggi saya dapatkan.

Dari anak-anak sampai orang tua menaruh hormat. Dari yang statusnya biasa sampai boss pun menundukkan kepala bila bertemu. Kebutuhan dipenuhi. Bisa berdiri di atas mimbar memberikan ceramah.

Keadaan ini berlangsung sekian tahun sampai waktunya kemudian menikah dan ke luar dari lingkungan yang penuh dengan rasa hormat itu.

Masuk dalam dunia kerja yang sepertinya asing dengan kelakuan orang-orang yang jauh dari etika dan rasa hormat menjadi kaget. Karena selama dalam pelayanan soal etika selalu ditekankan.

Di lingkugan yang tak satu pun orang tahu keadaan saya sebelumnya, mau tidak mau membuat minder. Perilaku teman-teman kantor yang seenaknya saya anggap sebagai kekurang-ajaran.

Saya membatin,"Dulu di tempat saya yang lama, mana ada yang berani begini. Saya ngomong satu kata aja semuanya diam tertunduk."

Dulu menceramahi orang-orang, sekarang malah setiap hari diceramahi  manager sales. Dalam hati bilang,"Kalau cuma motivasi beginian sih saya lebih jago." Sombongnya ke luar. Eh, makan tuh sombong!

Pertama kali mengalami keadaan ini di lingkungan yang baru membuat saya sulit menerima. Berat untuk menerima kenyataan. Ada kerinduan untuk mendapat perlakuan seperti sebelumnya.

Saya merasa tidak ada kuasa lagi untuk mengatur orang-orang di tempat kerja. Sebab saya hanyalah seorang sales baru. Tentu saya dianggap tidak ada apa-apanya.

*
Berjiwa Besar Menerima Kenyataan



Dalam keadaan kehilangan keseimbangan perasaan itu beruntung saya memiliki penghiburan yang menyejukkan. Yakni suara kecil yang selalu menasehati dan memotivasi, agar saya berjiwa besar untuk menerima kenyataan.

Jangan melekat pada masa lalu yang sudah berlalu. Tak usah lagi dijadikan kebanggaan, sebab akan menjadi beban yang memberatkan hidup.

Menerima kenyataan masa kini dengan keadaan yang sebenarnya jauh lebih baik daripada masih membayangkan rasa bangga masa lalu.

Walau ada perlawanan-perlawanan dari keegoan yang masih ada akan kerinduan masa lalu yang penuh rasa hormat. Tapi bisikan ini tiada henti saya dapatkan.

Seiring berjalannya waktu, saya harus belajar menerima kenyataan. Pahit memang pada awalnya untuk menelan. Kenyataan sekarang saya 'hanyalah' seorang sales ini harus diterima dan patut berbangga pula.

Dengan berani mau menerima kenyataan ini, barulah saya bisa bekerja tanpa membawa beban masa lalu dan mengalami suasana nyaman.

@refleksihatidipagihari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun