Menyalahkan itu mudah. Mengakui kesalahan itu betapa sulit. Karena manusia selalu merasa dirinya paling benar. Inilah penyakit yang sudah ada sejak dulu sampai kini.
Baru saja saya berurusan dengan seorang rekan kerja yang enggan untuk mengakui kelalaiannya. Sebaliknya malah menyalahkan.
Saat itu saya memberitahu padanya, bahwa pintu kantor ada yang tidak terkunci.
Sebenarnya saya enggan untuk memberitahu padanya. Toh pintunya sudah saya kunci. Karena sebelumnya sudah pernah terjadi ia lalai mematikan AC. Dimana saat saya ingatkan. Tapi ia begitu berkeras, AC-nya sudah dimatikan. Ya...sudah.
Namun akhirnya saya putuskan untuk memberitahu sekadar untuk mengingatkan kelalaiannya.
Alih-alih mengakui. Malahan dengan sikap sinis seakan hendak menyerang saya. Ia berkata,"Pintunya udah saya kunci. Udah saya slot kok tadi!"
Karenanya saya lihat sikapnya begitu ngotot.
Saya memilih diam dan tidak ingin mendebatkannya. Apa gunanya memaksa ia mengakui?
Bagaimana bila kejadian itu kita sendiri yang mengalami? Bagaimana reaksi kita?
Spontan menolak. Berkeras, tidak mengakui tanpa memberi peluang pada yang bernama "lupa"?
berpikir-pikir lalu bilang,"Oh ya? Wah... Mungkin saya lupa!"
Sebenarnya hal ini kembali kepada karakter masing-masing individu. Ada
yang bersalah dan berani mengakuinya. Ada yang bersalah. Tapih tidak mau mengakui. Malahan menyalahkan.