Bila kenyamanannya diganggu. Harga dirinya diobok-obok. Seseorang bisa saja menjadi kalap dan akan melawan dengan membabibuta. Kalap istilahnya.
Seperti yang terjadi pada lembaga penegak hukum bernama Polisi Republik Indonesia.
Adalah KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengganggu dengan membongkar kasus korupsi Simulator SIM yang melibatkan salah satu petingginya, Irjen Djoko Susilo.
KPK begitu ngotot untuk membongkar kasus ini. Tapi tentu tidak mudah. Karena Mabes Polri pastinya akan menghalangi. Dalihnya dengan cara mengambil alih menangani kasus ini.
Kalau itu yang terjadi, ujung-ujungnya kasusnya selesai secara damai. Sepertinya halnya kasus rekening gendut.
KPK tentu tidak ingin melepaskan kasus ini. Maju terus. Akibatnya, Mabes Polri merasa dilawan.
Episode perseteruan babak 2 Cicak vs Buaya dimulai. Teror terhadap KPK mulai terjadi. Ancanan penarikan paksa penyidik yang bertugas di KPK sebagai contoh.
Penolakan untuk memenuhi panggilan KPK oleh Irjen Djoko Susilo bisa dikatakan wujud perlawanan.
Yang terakhir, Jumat (5/10) dimana Gedung KPK dikepung polisi dengan dalih penangkapan penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan untuk kasus 8 tahun yang lalu.
Alasannya kasus ini muncul kembali atas laporan keluarga korban, dimana Novel diduga menganiaya korban yang terlibat dalam pencurian sarang walet pada 2004.
Banyak pihak menduga, hal ini hanyalah rekayasa kepolisian untuk mengkriminalisasi penyidik KPK.
Bisa dibayangkan, bila kasus Simulator SIM ini dilanjutkan dan Djoko Susilo ditahan. Bisa jadi Mabes Polri semakin kalap.
Mungkin selanjutnya bisa-bisa Ketua KPK, Abraham Samad bernasib seperti Antasari Azhar yang meringkuk di penjuru. Atau mungkin juga Gedung KPK bakal dibom dengan alibi teroris salah sasaran.
Menanggapi kasus perseteruan KPK vs Polri, seorang teman saya menyeletuk,"Wong polisi dilawan! Yo bonyok!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H