Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Polisi Memang Wajib Korupsi

8 Agustus 2012   00:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:06 1542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di "Negeri yang Lucu" ini seakan-akan para pejabatnya wajib untuk korupsi. Apa sebab? Karena sistem yang menghendaki demikian. Itulah tak heran perkorupsian merajalela. Bahkan sudah hampir menjadi budaya baru.

Ini fakta. Bukan pepesan kosong. Bukan dalam kisah sinetron. Hidup di negeri ini kalau jadi pejabat tidak korupsi, justru akan dianggap lucu. Menjadi bahan tertawaan. Disindir sok alim.

Jangan heran bila imannya pas-pasan akan segera turut ambil bagian dalam berkorupsi. Suatu perbuatan yang sebelumnya dibenci. Apa boleh buat. Terpaksa dan terdesak kebutuhan. Uang tidak berdosa ini.

Kalau bicara dosa, maka betapa berdosanya sang pelopor pencipta sistem percaloan dalam merekrut pegawai atau politik uang untuk menjadi pejabat.

Bukan rahasia lagi di negeri ini untuk menjadi pegawai negeri atau pejabat wajib mengeluarkan modal besar-besaran.

Dikatakan wajib, kalau semuanya ingin lancar. Bila tidak mau keluar modal, maka adanya pasti kesulitan.

Khususnya untuk menjadi polisi. Tentu kita paham. Selain biaya resmi yang tertulis. Ada biaya resmi yang tidak tertulis. Tapi wajib disetor.

Satuan keamanan tempat saya bekerja saat ini. Begitu ngototnya agar anaknya bisa jadi polisi. Tapi karena modal pas-pasan, akibatnya gagal lagi gagal. Padahal katanya punya koneksi.

Penyebabnya cuma satu. Ia belum bisa memenuhi persyaratan untuk menyetor uang Rp 80 juta sebagai jaminan lulus tes dan biaya selama pendidikan.

Sebaliknya anak temannya bisa langsung lulus. Selain uang setoran wajibnya cukup. Koneksi atau orang dalamnya juga kuat.

Walaupun untuk mendapatkan uang wajib setor itu harus menjual harta benda berupa tanah, rumah atau mobil.

Mengapa sampai begitu relanya? Apakah semata-mata karena ingin mengabdi pada negara? Tentu Perlu dipertanyakan.

Secara logika seharusnya kita tidak perlu begitu menyalakan. Bila kebanyakan _artinya tidak semua_ polisi kita harus korupsi. Melakukan pungli sana-sini.

Karena itu memang kewajibannya untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Jadi anggap halal-halal saja dalam hal ini. Tak perlu dicibir.

Walaupun polisi banyak yang korupsinya semakin menjadi-jadi. Tetapi apa jadinya negeri ini tanpa polisi.

Jadi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun