Sang Guru pernah berpesan kepadaku tatkala aku bertanya,"Mengapa agama belum juga membuat damai hati orang-orang yang beragama, sehingga damai dunia ini?"
"Sahabatku, karena manusia belum beragama. Baru sebatas menjadi penganut agama. Agama baru sekadar menjadi identitas. Agama masih menjadi faktor keturunan bukan hasil pencarian.
Agama lebih menjadi "gaya hidup" agar tidak diasingkan dari bermasyarakat. Agama belum benar-benar menjadi tuntunan.
Agama masih lebih menjadi sarana membesarkan keegoan. Bukan untuk mencermerlangkan nurani.
Agama masih menjadi bahan pembicaraan dan perdebatan. Belum sepenuhnya menjadi perilaku.
Beragama masih menjadi pertunjukan siapa yang terbaik di antara pemeluknya.
Sibuk dan gontok-gontokan menarik urat leher bahwa merekalah yang terbaik dan layak memiliki surga.
Hakekatnya beragama bukan untuk menunjukkan diri kepada orang atau umat agama lain bahwa agamamu adalah terbaik dan paling benar.
Apabila itu yang terjadi, maka beragama akan membuat engkau semakin arogan.
Semakin sombong dan tidak peduli. Kebencian semakin bertumbuh. Kehilangan kesadaran.
Tetapi beragama yang sesungguhnya adalah berusaha untuk menunjukkan yang terbaik dan paling benar kepada Tuhan.
Berlomba-lomba menjadi yang terbaik dan paling layak untuk Tuhan yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi yang terbaik bagi sesama di dunia."
"Iya, Guru. Entah mengapa perasaan atau pikiran bahwa saya paling baik dan paling benar selalu muncul?!"
"Sahabatku, sebenarnya itu hal yang sewajarnya terjadi pada setiap diri manusia. Engkau masih manusia toh?
Seringkali manusia menjebak dirinya sendiri. Jatuh dalam kesombongan. Tanpa disadari bukannya nuraninya yang semakin terang. Jiwanya semakin bercahaya.
Namun keegoannya semakin besar dan sulit dikendalikan. Begitulah kemudian beragama lebih menuhankan pemikirannya sendiri. Lalu membawa-bawa ayat suci untuk mendukung pemikirannya dengan keras kepala.
Bukan sebaliknya berpegang pada Firman Tuhan untuk meluruskan pemikirannya. Untuk melenyapkan keegoannya.
Sahabatku..... Loh, kok tidur?"
"Apa, Guru? Ah, tidak. Hanya terlalu khusuk mendengar uraian Guru." tanpa sadar tangan ini mengucek mata yang terasa perih.
"Oh, baguslah kalau begitu!"
Huaaaaaaaaaa..... Tak tahan aku untuk menguap!
Sang Guru hanya bisa tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H