"Ooooh..." aku bergumam. "Sekarang emang Mas Yononya kabur ke mana?"
"Ya, balik ke Jawa. Kampung istrinyalah!" jawab istriku sedikit sewot.
"Kok gak nyusul sekalian bawa anaknya?"
aku tak surut juga bertanya.
"Nah, itu dia bodohnya Mbak Is. Waktu itu menikah gak ada pakai surat-surat. Namanya gak ngerti apa-apa. Mau nuntut apa?" istriku rupanya terbawa perasaan.
"Gila ya ada lelaki kayak gitu. Apa gak mikirin anaknya yang masih kecil?" aku setengah protes.
Mbak Is, Mbak Is. Beruntung tidak tidak dalam kesedihan dan penyesalan. Pasrah menerima keadaan.
Dengan kesedihan yang masih ada. Perasaan tidak percaya. Mbak Is tetap setia berjualan gorengan. Siang di sekolahan dan malam di depan sebuah warnet. Tak lain demi si buah hati.Sementara itulah yang bisa dilakukannya.
"Kasihan ya, Pa?!" istriku mengungkapkan perasaannya.
"Ya, begitulah hidup..." aku mendesah.