Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tobat, Tobat, dan Tobat! Kok Belum Insyaf?

2 Juni 2012   00:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:30 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terharu dan mengharubiru. Tapi sekaligus sedih dan malu. Beberapa hari belakangan membaca tulisan teman-teman di Kompasiana tentang tobat. Kembali mengingatkan kepada perjalanan hidup diri sendiri. Kata "tobat" menghadirkan memori buruk bagi saya.

Terharu dan mengharubiru. Karena ada sesama yang sudah bertobat. Berarti tidak salah jalan atau tersesat lagi. Minimal dunia ini berkurang orang-orang yang tersesat.

Malu dan menyedihkan. Karena diri sendiri sudah seringkali bertobat. Tapi belum juga insyaf. Masih tersesat dalam kesalahan. Lagi dan lagi.

Padahal soal bertobat. Sulit untuk dihitung kembali sudah berapa kali. Dari yang rutin setiap hari. Setiap Minggu dan bulan.

Masih ada lagi acara tobat yang khusus setiap tahun. Sampai pernah juga mengikuti acara pertobatan 3 hari 3 malam di puncak gunung.

Entah berapa banyak airmata yang terkuras demi sesal dan tobat. Entah berapa kali sujud pengampunan dan Nama Tuhan disebutkan.

Dari langit yang tadinya mendung menjadi terang benderang. Penanda pertobatan diterima.

Tobat, tobat, dan tobat. Mohon ampun dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan.

Sudahkah tersadarkan dan terbebas dari kesalahan? Ternyata tidak! Tak lama berselang. Lagi-lagi kesalahan yang sama terulang. Memalukan bukan?

Benar-benar memalukan dan menyedihkan. Bertobat dan bertobat. Tetapi belum insyaf dan mencapai kesadaran.

Belum sadar untuk hidup sesuai Hakekat Kebenaran dan meninggal kesalahan dan ketersesatan. Belum menjadi manusia seutuhnya dan sebenar-benarnya.

Masih hidup dalam kemelekatan. Dikuasai keegoan. Terkungkung dalam kebodohan batin. Diselimuti kebencian, keserakahan, dan nafsu-nafsu duniawi.

Jadi sungguh luar biasa dan pantas dijadikan guru. Bila ada seseorang yang bisa bertobat. Lalu insyaf dari segala kesalahan. Hidup sesuai kehendak Tuhan. Duh, indahnya.

Namun yang terjadi pada diri saya adalah kesuraman hidup anak manusia. Yang masih tersesat dan hanya bisa bertobat. Tanda mampu untuk menjaga kesadarannya.

Bisa jadi dan mungkin Tuhan sudah bosan bila mendengar saya bertobat kembali. Karena belum menemukan bahwa Tuhan itu Maha Bosan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun