Ujian Nasional (UN) tetap berjalan dari tahun ke tahun. Walau tidak sedikit yang keberatan dan protes. Bahkan dari kalangan pendidik sendiri.
Padahal UN yang selama ini dilaksanakan tidak mencerdaskan sama sekali. Sebaliknya justru lebih kepada pembodohan.
Tanpa adanya UN dunia pendidik kita tetap akan baik-baik saja. Bahkan lebih baik.
Banyak kalangan yang meminta agar pelaksanaan UN dihentikan saja. Karena tidak memberikan manfaat yang nyata. Sementara biaya yang harus dikeluarkan luar biasa demi terlaksananya UN.
Yang menjadi pertanyaan. Mengapa pemerintah tetap ngotot untuk melaksanakan UN?
Tidak mau mengevaluasi pelaksanaan UN yang amburadul dan sarat kecurangan!
Karena yang dipikirkan pemerintah lebih utama adalah sisi bisnisnya. Kalau sampai proyek UN dibatalkan. Bagaimana dengan kontrak bisnis segala yang mendukung terlaksananya UN?
Apabila proyek UN tidak dilaksanakan berapa banyak pejabat yang jadi korban. Karena aliran dana ke kantong mereka terhenti.
Kalau pemerintah memang benar-benar sepenuhnya memperhatikan dunia pendidikan nasional. Tentu tidak ada sekolah yang rubuh.
Tetapi kalau UN tetap dilaksanakan, paling yang jadi korban itu rakyat banyak. Bukankah rakyat memang harus berkorban?
Pelaksanaan UN yang bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa. Saya pikir hanyalah pembodohan.
Sebenarnya yang berhak menentukan lulus tidaknya siswa adalah seorang guru.
Kenyataan dengan adanya UN membuat murid-murid semakin pintar memperbodoh dirinya.
Demi mengejar nilai, mereka rela melakukan kecurangan. Hal ini bahkan dibantu oleh gurunya.
Jual beli kunci jawaban bukan rahasia lagi. Bahkan para guru memfasilitasi. Semua bertujuan agar para murid bisa lulus dengan nilai tinggi demi nama baik sekolah.
Apakah itu tujuan dari dunia pendidikan? Pendidikan adalah mendidik menjadi cerdas dan bermoralitas.
Tapi gara-gara adanya UN, para murid malah dididik menjadi malas dan culas.
Para pejabat teras kita memang pintar-pintar. Sayangnya cuma pintar berbuat culas demi isi brankas. Jarang ada yang cerdas dan bermoralitas.
Ini bukan fitnah tapi realita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H