Sang Guru bangkit. Berjalan memandang gunung menjulang. Aku mengikuti langkahnya.
"Sahabat, takdirku hampir sampai. Tak perlu ada yang disesali. Demikianlah hidup. Datang dan pergi. Semuanya adalah hal yang alami."
Aku tak kuasa untuk memotong pembicaraan Sang Guru,"Maksud Guru? Takdir telah sampai!"
"Ya, kematianku. Kami para Guru bisa mengetahui takdir kami sendiri. Karena batin telah tercerahkan. Kematian adalah menuju kepada kelahiran yang sesungguhnya. Pesan terakhirku, mulailah untuk berpikir jernih. Jangan sampai demi mengejar sesuatu yang palsu, melupakan yang asli."
Sang Guru menatapku dalam-dalam sampai menembus hatiku. "Hidup ini singkat. Begitu cepat berlalu. Bagaikan embun pagi yang cepat mengering. Sudahkah berarti?"
Tanpa terasa airmataku mengalir. Nurani tersentuh. Menyadari hidup masih begitu banyak dipenuhi kesalahan. Alih-alih berarti.
Malu. Sang Guru saja, menjelang kematiannya masih terus memberikan arti bagi orang lain. Aku?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI