Mengapa sesal itu acapkali datang mengusik nurani Ketika kesenangan telah berlalu?
Ketika kesalahan telah tercipta. Ketika dosa telah terukir. Ada sesal hadir.
Kadang bertanya, apakah kepedihan dan airmata masih menyisakan makna atau kesia-siaan saja. Apakah itu penanda kekalahan atau kepasrahan?
Mengapa rasa sesal selalu datang pada saat pesta telah usai? Mengapa? Demikian berulang sepanjang jalan kehidupan.
Mengapa penyesalan itu bukan datang pada saat kesalahan hendak dilakukan?
Hingga urung terjadi kesalahan.
Kita lupa, ketika setitik niat buruk muncul di kepala, nurani telah mengingatkan dan berteriak, agar jangan diwujudkan dalam gerakan raga.
Setiap kali timbul niat jahat, nurani telah mewanti-wanti, bahwa itu tidak boleh dilakukan.
Namun nafsu-nafsu dan kebebalan menutupi jernihnya bisikan nurani.
Lama-lama kepekaan menghilang dan kesadaran memudar. Pelita hati yang terang-benderang mulai menemui keredupan.
Begitulah rasa sesal itu hadir silih berganti. Sampai nurani tak berdaya lagi.
Pada akhirnya, bahkan rasa sesal itu tiada lagi. Mati rasa dan dosa berganti bagaikan teman setia yang mewangi. Kubangan dosa menjadi menghabiskan hidup.
Oh...perih-pedih mengiris hati bila merenungkan catatan kehidupan diri dari hari ke hari. Masihkah ada kesempatan lagi?[caption id="attachment_171147" align="aligncenter" width="450" caption="shutterstock"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H