Kebenaran memang sederhana, namun tak jarang manusia tersesat karena hal yang sederhana...
#
Berbicara tentang kebenaran memang mengasyikan. Walau tak jarang menyakitkan. Inilah kebenarannya.
Bagiku Sang Guru adalah sosok yang menyenangkan untuk diajak berdiskusi tentang kebenaran. Walau tak jarang bisa bikin sakit hati.
Hari masih pagi, bergegas aku menuju ke Puncak Kesunyian. Di mana Sang Guru berada mengajarkan kebenaran kepada siapa saja.
Seperti biasa, sambutan hangat selalu kudapatkan. Tentu saja tak ketinggalan senyumnya yang khas.
Sedikit berbasa-basi. Lalu aku bertanya,"Guru, dari dulu kita berbicara tentang kebenaran. Sebenarnya apa sih kebenaran itu?"
Mengangguk dan tersenyum, Sang Guru menjawab,"Kebenaran itu, waktu makan makanlah. Waktu tidur tidurlah...hanya itu."
Mendengar jawaban Sang Guru, tak tahan membuat aku tertawa. "Guru, kalau itu anak kecil juga tahu! Terlalu sederhana. Apa tidak ada jawaban yang lebih hebat? Basi banget."
Mendengar perkataanku. Balik Sang Guru yang tertawa terkekeh-kekeh.
"Ya, ya, yaaa...anak kecil juga tahu. Tapi anak sudah sebesar kamu belum juga bisa melakukannya! Ha ha ha ..."
Jawaban Sang Guru spontan memerahkan mukaku dan menusuk tajam ke ulu hati. Tawaku menjadi kecut. Sebelum sempat menemukan pembenaran Sang Guru melanjutkan,"Sederhana tapi engkau tak mampu melakukannya. Bagaimana yang tidak sederhana?"
Diam-diam aku membenarkan perkataan Sang Guru. "Sahabatku, kebenaran itu memang sederhana. Tapi manusia seringkali melecehkan hal yang sederhana. Kebenaran di atas memang sederhana. Tapi itulah inti kebenaran. Bahwa dalam melakukan segala perlu sepenuh hati.
Apakah engkau pernah benar-benar makan dan benar-benar tidur? Pada saat makan saja bisa sambil nonton teve dan bicara sana-sini atau berbisnis. Begitu juga pada saat hendak tidur. Kapan waktu engkau benar-benar bisa meletakkan hati dan pikiran pada tempatnya?
Bukankah lebih sering masih keluyuran ke mana-mana? Tak jarang juga saat tidur di samping istri masih bisa bertemu wanita lain?"
Kalau soal ini, Sang Guru tahu saja. Pengalaman masa muda sebelum insyaf barangkali.
"Sahabat, hal ini adalah gejala atau perilaku manusia umumnya. Bukan berdasarkan pengalaman." Sepertinya Sang Guru membaca pikiranku.
"Namun demikianlah sifat manusia. Selalu saja mencari pembenaran atas ketidakbenaran yang dilakukannya dari waktu ke waktu. Pada akhirnya tersesat oleh pemikirannya sendiri."
"Benar sekali, Guru. Manusia semakin tersesat oleh pemikirannya dan lupa menggunakan nuraninya. " aku mengamini. "Kalau yang ini, rasanya anak kecil belum tahu tuh, Guru ha ha ha...." masih sempat-sempatnya aku menyindir Sang Guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H