"Untuk memahami hati dan pikiran seseorang, jangan melihat apa yang telah ia capai saat ini. Lihat apa yang sebetulnya ia cita-citakan." KAHLIL GIBRAN
#
Kalimat yang indah. Saya memahami sebagai janganlah menghakimi kegagalan seseorang.
Umumnya, kita begitu gampang menghakimi pencapaian seseorang yang boleh dikatakan sebagai kegagalan pada saat ini.
Kita tidak mau berusaha melihat jauh ke dalam hati dan pikiran seseorang, sebenarnya apa yang menjadi keinginannya.
Terlalu cepat kita menyimpulkan. Lalu serta merta menghakimi seseorang ketika ia gagal. Bahwa itu adalah pencapaiannya.
Kita tidak _mau_ menyadari, bahwa kegagalan itu hanya proses dari untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya.
Seperti apa yang saya alami sebagai contoh. Saya menulis tentang kebaikan, selain berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan, ada juga yang merupakan keinginan atau cita-cita hidup ke depannya.
Tentu saja itu berarti belum bisa saya lakukan. Tapi sangat ingin saya wujudkan dalam hidup.
Celakanya, ketika apa yang saya tulis dan masih berupa cita-cita itu tidak mampu saya wujudkan, cap munafik langsung dilayangkan kepada saya.
Betapa pedih rasanya. Ketika gagal, bukannya penguatan yang didapat. Tapi justru penghinaan.
Orang lain tidak mau tahu dan tidak mau memahami, bahwa untuk menjadi baik itu butuh proses dan perjuangan.
Di dalam proses tersebut tentu tidak jarang terjadi kegagalan dan penyesalan. Sama halnya seperti yang terjadi pada saya dan juga orang lain.
Begitulah, penghakiman lebih menjadi pilihan daripada penguatan.
Mengutip perkataan Kahlil Gibran di atas, saya jadi berpikir dan merenungi serta bertanya-tanya pada diri sendiri.
Jangan-jangan selama ini kita _khususnya saya_ telah menjadi penyebab anak kita semakin nakal?.
Orang-orang terdekat menjadi semakin tidak baik oleh penghakiman yang tidak sadar kita lakukan dari waktu ke waktu.
Ketika anak kita nakal kita menghakimi dengan berkata,"Dasar anak nakal! Tidak pernah berubah padahal sudah sering dinasehati!. Kamu memang sudah tidak bisa berubah!!!".
Padahal jauh di dalam hati dan pikirannya, ingin sekali ia berubah. Tapi oleh perkataan kita, ia melupakan cita-citanya dan mengingat-ingat terus perkataan "Anak nakal dan tidak bisa berubah!".
Begitu juga perlakuan kita terhadap seseorang saat melakukan kesalahan. Padahal sesungguhnya ia begitu menyesali kesalahannya.
Namun kita terlanjur menghakimi,"Kamu memang tidak bisa berubah. Salah lagi. Salah lagi. Tidak ada benarnya sama sekali!".
Bisa saja perkataan kita yang demikian, kemudian terekam dengan baik. Lalu menjadi perilaku hidup seseorang untuk membuktikan kebenaran perkataan kita.
Pertanyaan, mengapa sesama manusia yang katanya bersaudara, terlepas dari hubungan dalam kehidupan, harus saling menghakimi daripada menguatkan???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H