Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Amoy Singkawang Amboy [2]

10 Agustus 2011   13:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 6319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebelumnya

Di penginapan aku dan Alan tempati semakin malam semakin ramai saja. Tampak muda-mudi berpasangan untuk menghabiskan malam Minggunya.
Terus terang, Alan walaupun seorang wanita malam, saat bertemu dengannya untuk pertama kali saja ada perasaan berbeda.

Ada semacam getaran energi yang begitu kuat. Tatapan matanya serasa begitu lekat dan sepertinya ada cerita di dalamnya yang aku ketahui.

Padahal selama ini entah sudah berapa banyak wanita yang kutemui sampai menjelang usiaku yang ke-30 ini, belum ada wanita yang membuat hatiku tersentuh. Di Jakarta tidak sedikit wanita yang menggoda, semuanya tak lebih dari teman.

Tapi Alan, si amoy gadis Singkawang ini, benar-benar mencuri hatiku. Malam itu, aku begitu sungkan menghadapi wanita ini.
Ia menyentuh tanganku dan mengajak ke dalam penginapan. Karena sedari tadi kami mengobrol di teras.

Ruang putih dan hanya ada satu tempat tidur standar serta sebuah televisi. Pendingin yang sudah terasa tidak begitu dingin lagi. Maklumlah, hanya sebuah hotel kelas menengah dengan tarif ratusan ribu.

Entahlah aku begitu gugup di dalam ruangan itu. Duduk di samping Alan dipinggir ranjang. Kutatap wajahnya dan ia berusaha tersenyum. Sendu wajahnya dan balas menatapku.

Alan, Alan, aku berusaha memeluknya dengan penuh perasaan. Kubisikan sebaris kalimat,"Lan, ngai cih to an sit ngi. Ngai cih to yiu cak sim oil ngi ah. Nga tan sa tu ng siong sin boi nyong ngin." ( Lan, saya merasa begitu mengenal kamu. Saya merasa ada sebuah perasaan khusus terhadap kamu. Saya sendiri tidak tahu kenapa)

Kulepaskan pelukan itu dengan dada yang berdebar. Alan menatapku dan kali ini giliran ia yang memelukku dengan haru.
"Ko, ngai me cin cin nyong ngin chi to. Theu lin khon ako ngai tu chi to an sit ah. Lau sit ka an kiu mo sit to. ( Ko, saya juga memiliki perasaan yang sama. Saat pertama kali melihat koko, saya merasa sangat kenal sekali. Sepertinya kita ini sudah lama tak jumpa).

Alan memang wanita yang lembut, sentuhannya begitu lembut. Aku harus katakan, bahwa aku sungguh-sungguh jatuh cinta padanya sejak malam itu.

Terdengar ayam berkokok, tanda pagi sudah menjelang. Aku merasa lelah karena belum sempat memejamkan mata.
Alan bilang ia harus segera pulang karena harus mengurus anaknya yang baru berusia 6 tahun untuk sekolah.

Kuberikan sejumlah uang, namun ia menolaknya.
"Ng moi ah, ko! Ako tui ngai cin cin ho. Ng chiong phet cak lai cai tui ngai li an kiu. Ngai nyong pan ngin ho liang nya lui?" (Tidak mau, ko. Koko sudah bersikap baik pada saya. Tidak seperti lelaki lain memperlakukan saya selama ini. Bagaimana saya boleh menerima uangmu?)

Sehabis berkata itu, Alan memberikan kecupan padaku. Kupeluk sekali lagi, Alan. Rasanya aku benar-benar tak ingin berpisah dengannya.

Selama ini aku sering menertawakan teman-temanku yang katanya sudah tergila-gila pada seorang wanita saat pertama kali bertemu. Kuanggap itu ceritanya hanya ada di film saja.

Namun kini sepertinya aku yang kualat. Karena mengalami hal ini sendiri. Tidak tanggung-tanggung, wanita itu adalah Alan yang hanyalah seorang wanita malam.
Pasti giliranku yang akan menjadi bahan tertawaan teman-temanku bila kuceritakan nanti.

"Nyong pan ngin? Ciang oh, Khun?" (Bagaimana? Mantap, kan, Khun?) Suara Aliong mengejutkanku yang sedang berimajinasi tentang Alan saat sore itu aku duduk santai di rumah paman, adik mamaku.

"He mai?" Tanyaku pura-pura tidak tahu maksud Aliong.

"Alan, ah! To mai ca ca ngi?" ( Si Alan! Kenapa pura-pura?) Sahut Aliong menatapku sambil mengedipkan matanya.

"Ooooh, Alan? Ciang! Liong, ngai chi to ngai ai ki ah! (Ooooh, Alan? Mantap! Liong, saya sepertinya jatuh cinta padanya!" Tak kuat rasanya aku memendam perasaan ini untuk mengatakannya pada Aliong.

"Hah? Khun, ngi kan ti Alan phon thung! Ngi nyong pan oi to ki? ( Hah? Khun, kamu kan tahu Alan itu pelajar! Bagaimana kamu bisa mau sama dia?) Suara Aliong meninggi.

Aku membela Alan yang dihina kawanku, Aliong dengan menjelaskan, "Liong, Alan he nyit cak pho thung, thet to ki me nyit cak ngin chiong sit ka. Yiu nyit cak sim. Sit ka ng mo khon soi nyit cak ngin!" (Liong, Alan memang seorang pelacur, tapi dia juga seorang manusia seperti kita. Punya hati juga. Kita jangan meremehkan seseorang.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun