Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Panggung Sandiwara Berubah Sinetron Ala Indonesia

5 Agustus 2011   02:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:05 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Panggung sandiwara yang megah dan penuh makna kini berubah jadi sinetron yang sekadar dijadikan hiburan. Tak heran kini kita lebih banyak menghibur diri daripada memaknai kehidupan!


#

Kehidupan ini memang layaknya panggung sandiwara dengan sebuah maha cerita. Ada berbagai peran di atasnya. Peran tokoh hitam dan putih serta abu-abu. Bahkan ada yang diantaranya.

Dengan demikian akan mengalir sebuah cerita seru dan berkelas. Penuh pertentangan dan intrik. Tentu membosankan apabila sebuah panggung sandiwara hanya berisi tokoh baik-baik saja atau sebaliknya perannya jahat semua.

Ada peran baik, jahat, abu-abu atau yang tidak jelas, maka semuanya akan saling mengisi untuk melahirkan sebuah cerita seru dan berkelas.

Semua pemain memerankan perannya secara alami tanpa dibuat-buat, sehingga cerita menjadi hidup dan yang menjadi penontonpun serasa berada di dalam cerita.

Sebuah panggung sandiwara yang megah menghadirkan cerita yang istimewa. Ada kebaikan dan ada kejahatan. Ada kebohongan ada kejujuran. Ada airmata dan ada tawa.

Cerita begitu meriah dan juga ada kesedihan, sehingga tidak membosankan. Para pemain dan penonton sama-sama menikmati perannya dengan baik.

Inilah kehidupan. Inilah panggung sandiwara milik kita untuk kita perankan.

Namun kini, panggung sandiwara mega dan berkelas milik kita ini, berubah layaknya kisah sinetron ala Indonesia yang membosankan dan tidak berkelas.

Sebuah cerita hanya dibuat untuk mengejar ratting yang akan mendapatkan banyak iklan sebagai sumber pemasukan.

Seperti layaknya sebuah sinetron, para pemerannya hidup dalam kemewahan dan tidak jauh dari urusan cinta. Perebutan kekuasaan, wanita, dan harta.

Para pembuatan sinetron hanya menghadirkan sebuah cerita untuk mendapatkan uang. Karena tujuannya memang tiada lain adalah bisnis. Masalah moral dan makna yang hendak disampaikan seperti layaknya sebuah cerita adalah urusan belakangan.

Tak heran, para pemerannya pun berperan seadanya karena harus kejar tayang. Selain itu para penonton memang tidak begitu memperhatikan. Karena sudah terbuai dengan cerita khayalan dan kemewahan yang ditawarkan.

Kalau dipikir antara panggung sandiwara dan sinetron memang tidak jauh berbeda. Hanya cara mengemasnya saja yang membedakan antara berkelas dan tidak.

Jadi jangan mengharapkan sebuah kisah yang bermutu dari kebanyakan sinetron ala Indonesia dan bintang yang berkarakter untuk meraih Piala Citra.

Mungkin kita sering menertawakan sinetron ala Indonesia yang hanya begitu saja, padahal kita sendiri pun menjalani hidup ini seperti layaknya bermain sinetron.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun