Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kematian dan Dangdutan

18 Juli 2011   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan ini adalah panggung sandiwara, namun janganlah membuat kita selalu bersandiwara melakoni hidup ini!

#

Belum lama ini saya datang melayat ke rumah saudara di daerah Kedaung dekat Bandara Soekarno-Hatta yang meninggal dunia.
Seorang nenek yang telah berumur 90 tahun.

Suasana yang seharusnya dipenuhi duka tidak begitu tampak lagi, walaupun ada ditandai dengan pakaian dari anak-anak atau cucu yang berpakaian putih dan musik yang berciri kematian.

Para tamu dan keluarga tetap tampak ceria menikmati hidangan yang disediakan.
Bebas tertawa, sehingga suasana menjadi ramai.

Kemungkinan juga orang yang meninggal sudah berumur 90 tahun, sehingga dianggap adalah hal yang wajar. Tidak perlu lagi ditangisi, bisa jadi disyukuri karena tidak menyusahkan lagi.

Setiap kehidupan memang harus mengalami kematian bisa sudah tiba waktunya. Tetapi umumnya kematian memang mendatangkan duka, walau kita tahu itulah adalah hal yang alami.
Selagi kita memiliki perasaan secara wajar tentu akan terjadi.

Dibalik kematian yang beraroma duka bisa saja ada kegembiraan, karena kematian adalah saat membebaskan diri dari kungkungan raga dan kemelekatan atas segala keinginan.
Kematian yang tampak di permukaan ada kesedihan bisa saja menjadi kegembiraan karena menjadi awal kehidupan yang sesungguhnya.

Setelah selesai acara melayat, bergegas saya pulang, namun tak jauh dari situ ada panggung hiburan dangdutan yang meriah dan suasana tampak ramai.

Di atas pentas sang penyanyi bernyanyi dengan goyangan aduhai, sedang di bawah panggung para penonton terbuai dalam irama musik ikut bergoyang.

Semua larut bergembira, sedang saya cukup tersenyum dan menelan ludah melihat goyangan penyanyi yang memang sulit membuat mata berkedip.
Sang penyanyi tidak lepas dari senyuman yang semakin membuai para penontonnya.

Apakah mereka semua sungguh bergembira?

Entahlah. Bisa saja dibalik semua kegembiraan itu, sesungguhnya tersembunyi duka lara akan kehidupan yang penuh masalah.

Bisa saja di atas panggung tersenyum dan bergoyang, namun di sudut kamarnya ia terkulai dalam senyum kecut karena persoalan hidupnya.

Begitu juga para penonton yang riuh rendah berpesta dan tertawa, sesungguhnya hanya untuk menutupi penderitaan hidupnya untuk sementara.

Apa yang dapat saya catat dari kedua peristiwa yang saya alami itu?

Hidup adalah panggung sandiwara. Adakalanya untuk bersedih adakalanya untuk bergembira.
Ada saatnya kematian, ada saatnya untuk berpesta.

Banyak sandiwara yang terjadi, bahwa yang kelihatan menyedihkan, bisa saja itu adalah kebahagiaan.
Bisa saja yang tampak sebagai kegembiraan, sebaliknya ada kesedihan.

Walau hidup ini adalah sandiwara, kita tidak perlu melakoni dengan bersandiwara, namun hidup apa adanya.
Saat bersedih, bersedihlah dan saat bergembira, bergembiralah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun