Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Satu Cinta Dua Agama [14]

7 April 2011   23:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:01 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_100735" align="aligncenter" width="507" caption="Beginilah keceriaan Tri dan Li/GettyImages"][/caption]

Triii. . .Tri! ” Seseorang memanggil Tri saat keluar dari kantornya. Tri merasa sangat mengenal suara itu dan dengan enggan berbalik melihat sosok lelaki yang memanggilnya, Rizal! Lelaki yang selalu begitu berharap dapat menjadi kekasih Tri, karena memang mereka berasal daerah yang sama, Sumatra Barat. Kebetulan tempat kerja mereka di Jakarta pun masih satu kompleks di bilangan kota, sehingga mereka sering bertemu. Melihat penampilan Tri yang tidak cerah dan jauh dari senyum, Rizal berpikir pasti ada hal yang tidak menggembirakan yang terjadi pada Tri dan Li.

“Tri, kamu tidak jadi menikah, kan, dengan Li? Pasti orangtuamu tidak merestui. Sudahlah Tri, jangan terlalu dipaksakan. Kan masih ada Abang Rizal yang masih tetap setia!” Rizal yang terkenal agak selebor, langsung saja membuka mulutnya tanpa peduli keadaan di sekitarnya dan keadaan Tri. “Zal, tolong jangan ganggu aku. Maaf, aku sedang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan !” Suara Tri terdengar pelan tapi tegas. Tri terus saja melangkahkan kakinya keluar ruangan.

“Ayolah Tri, Please..! Hari ini aku antar kamu pulang ya..! Bujuk Rizal dengan sedikit memelas.

“Maaf, aku tidak bisa Rizal! Mohon mengertilah, aku butuh sendiri. Aku tidak ingin membicarakan apapun bersamamu sekarang. Setidaknya untuk saat ini.” Tegas sekali Tri menekankan kalimat itu, sehingga Rizalpun menghentikan langkahnya.

Rizal merasa kehabisan cara untuk mendapatkan hati Tri. Ia menendangkan sebelah kakinya, kesal terlihat jelas dari wajahnya. Tri tidak peduli tanpa sedikitun menoleh ia terus berjalan. Rizal mematung, memandangi punggung Tri dengan perasaan berkecamuk.

“Ya, Ok lah Tri, mungkin kamu benar. Ini bukan saat yang tepat untuk kita bicara. Harusnya aku tidak memaksamu, maaf Tri. Aku tidak bermaksud membuatmu marah, malah sebaliknya ingin membantumu dan menghiburmu. ” Rizal menenangkan perasaannya sendiri.

Rizal kembali ke kantornya dengan langkah lesu dan perasaan kecewa. Tak terasa hari sudah sore, iapun harus segera pulang. Rizal memacu mobilnya dengan hati yang galau. Ia masih berfikir tentang Tri, gadis manis itu benar-benar telah mencuri hatinya.

Walaupun cinta itu telah ada sejak dulu, semenjak mereka masih berstatus mahasiswa. Namun kesempatan untuk mendapatkan Tri tidak pernah ada, karena selalu ada Li di sisinya. Saat ini Rizal seperti mendapatkan angin sorga, penentangan orang tua Tri terhadap hubungannya dengan Li semakin membuat Rizal yakin bahwa ialah yang paling pantas mendampingi Tri.

Sambil memutar stirnya, Rizal berkaca dari kaca spion. Ia tersenyum bangga. Wajahnya cukup mempesona, berkulit sawo matang, tegap dan hidupnya juga sudah mapan. Ia percaya Tri tidak akan menolaknya, karena ia tahu Tri dan Li tidak mungkin bisa menikah.

“Apa coba, alasan Tri untuk menolaknya? Ah, biasalah wanita, jinak-jinak merpati dan sok jual mahal, padahal?!” Cibirnya sambil tersenyum sendiri.“Hanya menunggu waktu saja, sampai Tri sembuh dari lukanya berpisah dengan Li. ” Rizal masih berusaha untuk meyakinkan pikirannya sendiri.

* Kembali Tri dan Li bertemu di sore itu ketika Li datang menjemput sekaligus melepaskan kerinduan yang masih ada sebelum Tri pulang ke kampungnya. Tri dan Li tidak mengerti, sebenarnya status mereka saat ini sebagai apa?

Kalau dibilang sepasang kekasih, rasanya aneh, masalahnya mereka sudah tidak direstui untuk menjadi suami istri karena perbedaan keyakinan. Tetapi bila bukan sepasang kekasih lagi, mereka juga tidak pernah saling memutuskan hubungan

Li mulai tahu diri dan menjaga jarak agar tidak terjebak dalam kemesraan dan keromantisan yang kemudian membuat mereka sulit untuk berpisah.

Dalam perjalanan pulang menuju kosan Tri, di tengah kemacetan ibu kota yang selalu menjadi teman setia. Menjadi waktu yang baik bagi Tri dan Li untuk berbicara banyak hal, sehingga tak terasa waktu cepat berlalu.

“Diak!, aku rasa mulai saat ini lebih baik aku mengganggap dirimu sebagai adikku saja, karena sudah tiada harapan lagi kita melanjutkan hubungan ini sampai kepelaminan."

Tri merengut manja,”Ah, Koko! Sudah tidak suka dan sayang aku lagi ya?!” Bagaimanapun aku kan masih kekasihmu, Ko! Masih menyayangi Koko. Aku ingin selamanya mencintai Koko, abadi dalam hatiku. Meskipun takdir kita bukan untuk dipersatukan."

“Diak, sudah waktunya kita mulai menerima kenyataan diantara kita. Kalau bicara cinta dan sayang, aku juga ingin selalu mencintaimu. Soal sayang, kita masih bisa untuk saling menyayangi sebagai saudara yang baik. Bukankah kita sama-sama anak tunggal? Ah, rasanya kita cocok sekali sebagai kakak adik. Mau, kan???” Li memberikan solusi yang baik atas hubungan mereka.

Mendengar itu, Tri mulai cemberut. "Semudah itukah, Ko?" Tri masih belum bisa memahami.

"Ini adalah yang terbaik, dulu kita mengawali hubungan ini dengan persahabatan. Kita sudah sama-sama dewasa. Alangkah baiknya juga mengakhiri hubungan ini dengan akhir yang baik. Aku akan tetap menjadi orang terdekatmu, sebagai Kakak yang paling mengerti dirimu." Li tersenyum tulus menjelaskan.

Tri terdiam, dia tidak tahu apa ia bisa sesederhana itu memaknai perasaan mereka?. Namun tiba-tiba Tri mengembangkan senyum di wajahnya. Li benar, ia tidak boleh mendramatisir keadaan. Ia harus bisa bijak melihat kenyataan. "Ok deh, Aku mau Ko! Itu kan artinya aku masih boleh bermanja-manja sama Koko. Lagian selama ini juga aku sudah panggil Koko. Yaaaahhh, akhirnya jadi Koko benaran deh!" "Mungkin kita memang berjodoh sebagai saudara ya Ko?" Tambah Tri lega.

Sepanjang perjalanan itu, mereka saling bercanda. Seperti tidak ada lagi beban yang menggantung, semuanya jadi terasa ringan untuk dijalankan. Ternyata benar, jika semua persoalan dihadapi dengan tenang pasti akan ada jalan keluarnya. Mereka bercerita banyak hari itu, berkali-kali Li melihat Tri tertawa lepas. Mimik Tri jadi lucu sekali. Li melihatnya gemes dan merasa senang karena Tri begitu gembira hari ini.

Ini jadi pelajaran berharga untuk mereka, bahwa kebahagiaan itu ada dalam hati. Tak perlu meyalahkan keadaan yang merenggut cinta mereka, karena jika dipaksakan juga untuk menyatukannya belum tentu mereka akan bahagia.

Terdengar dering telepon seluler dalam genggaman Tri.Sejenak Tri melirik nomor pemanggilnya sebelum diterima. "Telepon dari Papa, Ko! Ada apa ya?!"

"Angkat dululah, Diak. Pasti ada berita penting!"

"Halo. . .Assalamualaikum. . .baik, Pa! Hah, Mama kenapa? Ya, Allah. . .ya ya aku segera pulang!"

“Adiak, ada apa???” Tanya Li sedikit keheranan melihat sikap Tri.

Bersambung

Karena Kucinta Kau By Bunga C Lstari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun