Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Satu Cinta Dua Agama [8]

30 Maret 2011   00:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:18 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1301452417521308575

[caption id="attachment_99013" align="alignleft" width="358" caption="GettyImages"][/caption] *

Papa mengajak Li duduk di ruang tamu. Li mengikut saja dengan perasaan mulai sedikit grogi.

Tri menyuguhkan ubi rebus yang masih panas di meja tamu bertaplak coklat berenda itu. Dua gelas kopi panas tak lupa pula dibuatkan Tri. Meskipun Tri tahu dua lelaki dewasa itu masih kenyang, udara yang dingin akan cepat membuat perut mereka kembali lapar.

Li duduk di sofa berwarna coklat tua, keluarga Tri keluarga yang hangat dan bersahabat. Tergambar dari ruang tamu yang cukup luas. Dengan dua pasang kursi tamu yang tertata.

Sepasang kursi kayu dari jati yang sangat halus, terdiri dari satu meja berukir ukuran sedang dan satu buah kursi panjang, dilengkapi dua buah kursi pendek. Satunya lagi, sofa empuk yang kini diduduki Li. Sepertinya ini sofa lama, terkesan dari desainnya yang unik.

Li menyapukan pandangannya ke seluruh ruang tamu. Tidak terlalu banyak perabot, sebuah lemari sudut terpajang indah di sampingnya. Dinding – dinding dihiasi dengan sebuah lukisan kaligrafi bahasa Arab yang cukup besar menggantung di salah satu dinding. Li tidak mengerti apa arti tulisan itu.

Selanjutnya sebuah lukisan abstrak terpajang di sisi dinding yang lain. Satu buah foto keluarga, terlihat semua keluarga besar Tri ada di dalamnya. Sepertinya foto itu dibuat sudah lama, karena di situ Tri masih terlihat sangat remaja sekali. Semuanya tampak serasi, menambah nyaman ruangan tamu itu.

“Lukisan itu indah sekali Om, selera Om tinggi juga,” ungkap Li memuji.

“ Semuanya Tri yang memilih Nak Li, saya hanya menyetujui saja. ” Jawab Papa Tri ramah dan merendah.

“ Ooo begitu, pantas saja..” sambut Li kemudian. Li tidak perlu kaget karena memang Tri bekerja di bagian desaign interior di sebuah perusahaan di Jakarta. Mama Tri masuk ke ruang tamu dan mengambil tempat duduk di sebelah suaminya.

Tri memilih diam di ruang keluarga, sambil nonton tv, ia mencoba mengusir kegelisahannya. Tri sengaja menyetel suara tv dengan pelan agar bisa mendengar pembicaraan tiga orang itu di ruang sebelah. Sebetulnya ia ingin juga ada di sana, ikut membahas masalahnya. Tapi itu tidak baik, dan tabu bagi wanita Minang.

“Hmmm…!” Papa Tri mendehem, “ Bagaimana hubungan Nak Li dengan Tri ?” Pertanyaan Papa Tri mencekat urat leher Li. Sekilas ia gugup, tapi cepat ia menguasai diri sehingga kesan gugup itu tak tertangkap Papa Tri.

“ Beginilah Om, seperti yang Om lihat. Saya telah menjatuhkan pilihan hidup saya pada Tri, datang ke sini juga membawa harapan besar. Selain bersilaturahmi, juga ingin mengutarakan maksud hati saya kepada Om dan Tante.” Li bicara setelah berhasil mengendalikan dirinya dari rasa gugup.

“Saya benar-benar menginginkan hubungan kami sampai ke pelaminan. Mengikat tali keluarga dalam ikatan rumah tangga yang abadi. Mungkin saya tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar, karena sejatinya Om dan Tante pasti juga sudah tahu hal ini. "Li mulai mengatur nafasnya, agar bicaranya tertata.

“Saya beranikan diri datang ke sini, untuk meminta doa restu Om dan Tante. Walaupun Tri sudah pernah mengatakan Om dan Tante tidak menginginkan saya sebagai pendamping Tri karena saya punya keyakinan yang tidak sama dengan Om dan Tante.” Li menghembuskan nafasnya pelan, tersendat sebenarnya ia mengatakan itu namun disembunyikannya.

“Maaf Nak Li, secara pribadi saya dan istri saya tidak ada masalah dengan hubungan kalian. Kalian berdua sudah sangat dewasa dan berhak menentukan pilihan hidup sendiri. ” Papa menjawab juga dengan bahasa yang sangat hati-hati.

“Nak Li orang yang baik, mengerti sopan santun. Dan saya menyukai pribadi Nak Li. Saya juga paham kenapa Tri akhirnya memilih Nak Li, pastilah juga karena keelokan budi pekerti Nak Li itu. ”

Papa melanjutkan kembali, “Betapa miris dan kecewa hati kami berdua, kala tahu ternyata Nak Li berbeda keyakinan dengan kami. Ini memang masalah prinsip Nak Li. Dalam Islam tidak dibenarkan menikah berbeda agama. Sebagian ulama mengatakan boleh, jika yang non muslimnya itu adalah perempuan dan hal itu tidak dibolehkan jika yang non muslimnya adalah laki-laki. ” Papa berhenti sesaat, memandang wajah Li yang masih terihat tenang dan berusaha memahami.

“Alasan ini bukan alasan yang dibuat-buat. Bukan karena kami umat Islam merasa benar sendiri dengan keyakinan kami dan menganggap keyakinan orang di luar Islam itu salah. Sama sekali tidak. ” Papa melanjutkan masih dalam nada berhati-hati.

“Agama memang diturunkan sebagai pengatur hidup manusia agar manusia tidak berbuat di luar batas-batas kemanusiaannya. Saya sekeluarga memilih Islam sebagai agama yang akan mengatur hidup saya, maka sudah sepantasnya saya taat dan patuh terhadap aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam agama saya. ”

“Dalam Islam suami adalah imam, sebagai penentu dalam keluarga kemana arah keluarga itu di bawa. Laksana kapal suami adalah nahkoda dalam rumah tangga, yang akan membawa seluruh awak dan penumpangnya berlayar. Dia mampu untuk membelokkan arah kapal dan tahu kapan dan dimana akan merapat. ” Papa menarik nafas dalam sebelum melanjutkan, “ Itulah sebabnya mengapa perempuan muslim tidak diizinkan menikah dengan laki-laki non muslim. Perempuan harus patuh terhadap suami, begitu Islam mengajarkan. Jika seorang wanita menikah maka ia adalah hak penuh suaminya. Orang tuanya sama sekali tidak punya hak atas dirinya jika suaminya seudah memutuskan sesuatu untuknya. ”

“Seorang istri tidak boleh membantah dan membangkang kepada suaminya. Hal inilah yang dikhawatirkan, perempuan itu akan menjadi murtad (berpindah agama) setelah menikah, karena ikut dengan suaminya. Sementara perbuatan murtad itu adalah dosa besar dalam agama kami. Berbeda halnya bila laki-laki itu muslim dan menikah dengan wanita non muslim. Kekhawatiran itu tidak ada, karena laki-laki lebih kokoh memegang prinsip. Tidak seperti wanita yang mudah terbawa perasaan. Perasaan cintanya kepada suaminya akan dengan mudah baginya meninggalkan keyakinannya. ” Jelas Papa panjang lebar dan dengan harapan Li mengerti.

Li yang sedari tadi diam mendengarkan dan berusaha memahami apa yang disampaikan Papa Tri, mulai membuka suara.

“Om, tentunya saya sangat memahami sekali apa yang disampaikan Om. Saya mengamini semua kebenaran yang ada dan saya sangat mendukung sekali kebenaran itu. Bila demikian kebenarannya, maka saya percaya, sebenarnya tidak akan menjadi masalah besar kalau kami menikah dan tetap hidup sesuai keyakinan masing-masing. Sebab saya akan sepenuhnya mendukung dan menjaga Tri dalam keyakinannya. Saya jamin, Om! Saya tidak mungkin menghianati hati saya dan dikemudian hari akan mempengaruhi Tri untuk ikut keyakinan saya dan kemudian menjadi murtad. Dosa besar saya, Om!”

Papa berkata dengan nada khawatir,"Tapi, Nak Li, masalahnya pasti semudah itu!”

“Om, segalanya akan menjadi mudah, kalau manusianya mau memudahkan dan bukannya mempersulit. Bagi saya dan Tri, tentulah bukan masalah, karena kami saling mendukung sekali dalam masalah keyakinan. Saya berjanji akan menjaga Tri agar menjadi muslimah yang solehah dan tetap dalam keislamannya sampai akhir hayat. Tentu saja saya sangat berharap Tri bisa masuk surga nantinya! ” Begitu semangatnya Li menyampaikan isi hatinya.

"Tapi Nak Li . . ."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun