[caption id="attachment_87798" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption]
Hidup adalah pengabdian. Berbahagialah bagi orang-orang yang mengerti akan hakekat hidup ini!
*
Aku berobat ke Dokter Reni (30), suatu hari di kliniknya disebuah ruko yang hanya berbeda satu blok tempatnya dengan tempat aku bertugas sebagai pekerja sosial atas saran seorang rekan. Orangnya cantik dan bersahaja. Dalam tatapanku, Dokter Reni lebih cantik daripada Dokter Lula Kamal yang main sinetron itu.
Penampilannya sederhana dan enak diajak berbicara. Orangnya baik dan simpatik. Senyum manis tak lepas dari wajahnya. Sebagai lelaki bagiku, tentu Dokter Reni begitu menarik hati. Sejak kenal pertama kali saja, kami sudah begitu banyak bicara dan langsung akrab. Bagaikan teman lama yang baru bersua.
Kulihat ruang kerjanya banyak tertempel kata-kata motivasi dan juga kutipan-kutipan ayat suci. Tentu saja menarik perhatian, karena aku juga suka melakukan hal yang sama.
"Saya suka sekali, karena bisa dijadikan untuk memotivasi diri dan bahan introspeksi!" Kata Dokter Reni, ketika aku memperhatikan ruang kerjanya.
Pertemuan pertama saja sudah begitu mengesankan, selanjutnya? Aku jadi rindu akan pertemuan berikutnya. Tentu aku tak berani menaksirnya, karena aku tahu diri saja. Lagipula Dokter Reni sudah punya suami dan seorang putri. Aku tahu karena foto keluarga miliknya terletak disudut meja kerjanya.
Kami sempat bicara banyak karena memang aku adalah pasien yang terakhir. Saking asyiknya bicara, sampai lupa berkonsultasi tentang penyakit yang aku alami. Karena melihat kecantikan Dokter Reni dan bicaranya yang menyejukkan, aku sampai lupa kalau sedang berobat padanya. Lupa bahwa aku sedang sakit
Merasa tak enak telah menyita waktunya. Aku bermaksud pamit, karena waktu telah cukup larut. Dokter Reni membuka resep yang harus kutebus di apotek terdekat.
"Berapa dok, biayanya?" Kutanyakan biaya berobatnya sambil mengeluarkan dompet.