Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dilla, Mualaf Karena Panggilan Hati (Inspirasi Untuk Wanita 15)

27 Januari 2011   05:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:09 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh beruntung bila beragama karena panggilan hati, bukan karena faktor keturunan belaka.

[caption id="attachment_87543" align="alignleft" width="400" caption="Ilustrasi//wanitamuslimahku.wordpress.com"][/caption]

* Dilla dilahirkan dari keluarga yang taat pada agama. Tentu saja sebagai orangtua yang baik, keluarganya menghendaki Dilla menjadi anak yang taat pada agama yang dianut orangtuanya juga.

Sebagai anak yang baik tentu saja Dilla tidak masalah dalam hal ini. Karena memang seharusnya begitu. Dilla juga berpikir agama adalah hal yang penting dalam hidup.

Tetapi seiring perjalanan waktu, pada saat SMA, Dilla dititipkan ke rumah nenek-kakeknya dari pihak ibu yang muslim dilain kota. Jadi sebenarnya ibu Dilla sebelumnya adalah seorang muslim. Tetapi demi cinta akhirnya ikut agama yang saat ini menjadi suaminya.

Dilla adalah gadis yang agak pendiam, namun mudah bergaul dengan teman-temannya di tempat barunya. Aku mengenalnya sebagai gadis yang baik dan sedikit pemalu. Tetapi saat sudah mulai cerita, ia akan bercerita panjang lebar. Polos dan jujur.

Sejak tinggal dengan kakek-neneknya itulah Dilla juga diajarkan tata cara ibadah Islam yang menjadi agama kakek-neneknya. Dengan senang hati Dilla belajar dan mempraktekkannya. Walaupun terasa canggung pada awalnya.

Dilla juga kemudian banyak bertanya tentang agama Islam padaku. Tentu saja aku heran, karena yang aku tahu Dilla bukanlah seorang muslim. Pada suatu saat Dilla mengeluarkan unek-uneknya padaku.

"Kak, perasaanku mengatakan aku lebih damai ya beribadah dengan cara muslim yang diajarkan nenekku?!"

"Dilla, agama adalah panggilan hati. Jadi setiap manusia berhak memilih agamanya sesuai dengan panggilan hati. Bukan hanya karena faktor keturunan dan keterpaksaan. Beragama adalah untuk menciptakan damai di hati. Kalau beragama tak tidak damai, untuk apa?"

Aku berkata sedikit sok bijak pada Dilla yang kulihat tersenyum mendengar apa yang aku katakan. Aku tahu, Dilla sedang galau antara harus mengikuti keinginan orangtuanya dan panggilan hatinya dalam hal beragama.

Semakin hari, Dilla semakin rajin belajar agama Islam dan kemudian di sekolahpun Dilla memutuskan untuk mengikuti pelajaran agama Islam. Semua murni karena panggilan hatinya yang menggebu-gebu.

Tentu hal ini membuat kakek-neneknya senang bukan kepalang. Berbeda dengan bapaknya yang marah besar mengetahui hal ini. Dilla kemudian dibawa pulang kembali ke Jakarta dan dimasukkan ke sekolah khusus agama. Untuk dididik kembali sesuai agama orangtuanya.

Tetapi di dalam hati terjadi perang batin. Semakin dipaksa semakin mendapat tentangan hatinya. Baginya menjadi muslim sudah menjadi panggilan hatinya. Tetapi Dilla juga tidak mau menjadi anak yang kualat pada orangtuanya.

Karena tak tahan dengan tekanan dan perang batin terus-terusan, setelah lulus SMA, Dilla menguatkan tekad untuk minggat dan kembali ke rumah kakek-neneknya yang antara kaget dan senang menerima kedatangan Dilla, cucu kesayangan mereka.

Ketika bertemu denganku, ia berkata,"Kak, aku tidak tahan dengan perlakuan orangtuaku, khususnya bapak yang melarangku menjadi seorang muslim. Tapi aku sudah mantap, kak, dengan pilihanku!"

"Ikuti saja kata hatimu, Dilla. Berdoalah untuk kedua orangtuamu, agar hati mereka terbuka dan mau menerima keputusanmu!" Lagi-lagi aku berkata dengan sok dewasa dan bijak.

"Iya, kak, semoga Tuhan memberikan jalan yang terbaik untuk kami. Orangtua mau mengerti atas pilihan hidupku ini. Sebenarnya aku merasa bersalah pada mereka dengan cara ini!" Dilla berkata dengan sendu.

Memang sudah jodoh kehidupan Dilla, kemudian Dilla menemukan jodoh seorang lelaki saleh yang menjadi suaminya. Boleh dikatakan ini adalah penyempurna kemualafan Dilla.

Walaupun dengan berat hati tanpa kehadiran kedua orangtuanya saat menikah. Dilla mengalami masa-masa bahagian dalam rumah tangganya.

Hari-hari Dilla tiada putus berdoa untuk kedua orangtuanya, agar mau memaafkan dan mau menerimanya kembali sebagai anak. Bagaimanapun orangtuanyalah yang telah melahirkan Dilla.

Tuhan memang Maha mendengar, sejak kelahiran anak pertama, kedua orangtuanya untuk pertama kalinya datang menjenguk. Lengkap sudah kebahagiaan Dilla semenjak itu.

"Semoga bahagia kamu, nak, dengan pilihan hidupmu!" Begitu kata bapaknya sambil memeluk haru pada Dilla yang tak kuasa menahan airmatanya.

"Maafkan Dilla, pak, karena tidak bisa mengikuti kehendak bapak selama ini. Aku bahagia, bisa memeluk bapak kembali saat ini!" Masih dalam airmata terurai Dilla berkata.

"Begitulah hidup akan dilancarkan, bila hati yang berbicara. Mengikuti panggilan hati adalah tiada salah!"Gumamku diam-diam melihat peristiwa yang baru saja kusaksikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun