Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Mbak Ani, Kepolosan Wanita Sederhana Penjual Jamu (Inspirasi Untuk Wanita 13)

25 Januari 2011   14:21 Diperbarui: 30 Mei 2021   11:51 5421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (picasaweb.google.com)"][/caption]

Kesusahan hidup bisa membuat seseorang menjadi tahu untuk berhemat. Bisa mendahulukan mana yang seharusnya dan mana yang tidak perlu. Mengesampingkan kepentingan pribadi demi keluarga adalah lebih penting!

 *


Sehari saja tanpa kehadirannya, terasa ada yang kurang. Karena sudah merupakan rutinitas baginya untuk berkeliling kompleks di mana aku tinggal.

Sosok yang kurindukan itu adalah Mbak Ani. Seorang penjual jamu. Tetapi ia bukan penjual jamu gendong seperti umumnya yang selama ini aku kenal. Mbak Ani berjualan jamu dengan sepeda. Jadi namanya penjual jamu sepeda keliling.

Tubuhnya kecil dan amat sederhana. Penampilannya memang tiada yang istimewa dengan wajah dalam kategori lumayan saja. Tiada bedak yang menghiasi wajahnya. 

Sungguh jauh berbeda dengan penjual jamu gendong yang penampilannya menor mencolok mata dan sedikit genit. Biasanya. Tentu tidak semua. 

Mungkin ini caranya untuk mengirit pengeluaran, supaya bisa dikirim ke kampung untuk membiayai dua anaknya untuk sekolah. Sebab Mbak Ani yang harus bekerja sendiri untuk membiayai dua anak dan kedua orangtuanya di kampung.

Bukan hanya penampilan wajahnya yang masih alami, tetapi kurasakan juga hatinya yang masih alami untuk ukuran manusia sekarang. Polos dan lugu bicaranya.

Kadang-kadang sesekali kami menyempatkan untuk berbicara. Dari beberapa kali pembicaraan baru aku tahu Mbak Ani sudah berpisah dengan suaminya yang telah kawin lagi dan menceraikannya.

Sebagaimana wanita Jawa yang masih lugu, ia hanya bisa ikhlas dan menerima keputusan suaminya yang arogan. Mau bagaimana lagi? 

Saya heran, mengapa ada lelaki begitu tega terhadap Mbak Ani yang begitu baik hatinya. Wanita yang telah memberikan dua anak padanya. Kurang apa? 

"Pasrah saja, mas, mungkin ini sudah nasibku. Yang penting aku masih bisa membesarkan anak-anakku!" ujarnya dengan nada datar tanpa ekspresi.

Dengan sedikit keberanian dan modal pengetahuan soal jamu, Mbak Ani merantau ke daerah industri Tangerang dan sementara menumpang di tempat teman sekampung.

Tidak mengenal lelah, panas dan hujan Mbak Ani setiap hari harus berkeliling perumahan  demi untuk menyambangi para pelanggannya. 

Itu harus dilakukan. Karena bila sehari saja tak berkeliling, pasti akan mengurangi pendapatannya. Padahal kalau dihitung berapa sih pendapatannya sehari?

Walaupun tak seberapa penghasilannya, tetapi sungguh berarti baginya.

Keadaan demikian memaksa Mbak Ani harus hidup irit dan tidak memikirkan kebutuhan dirinya. Untuk urusan kosmetik takada lagi dalam hitungan pengeluaran.

Kadang dalam keadaan sakit pun Mbak Ani memaksakan diri untuk berkeliling. Aku hanya bisa terharu saja, karena aku sendiri juga sebenarnya hidup pas-pasan 

Dalam hati hanya bisa berdoa agar penghasilannya dilebihkan selalu setiap hari.

Kegigihan Mbak Ani mencari nafkah demi keluarga, terutama buat buah hatinya agar bisa bersekolah adalah segalanya. Demi semua ini  tak kenal lelah Mbak Ani berusaha setiap harinya.

"Jangan sampai seperti aku, Mas, cuma lulusan SD dan hanya bisa jualan jamu keliling!" kata Mbak Ani suatu ketika. 

"Tapi syukurlah anak-anak di kampung lancar sekolahnya. Yang besar sudah kelas dua SMP, yang kecil kelas enam SD."

Kesusahan hidup dan harus menanggung hidup keluarga, membuatnya dari hari ke hari harus berjuang tanpa henti. Tiada mengenal istirahat. Tidak memperdulikan dirinya sendiri.

Suaminya sudah entah raib ke mana, tak peduli lagi untuk membiayai anak-anaknya. Tetapi Mbak Ani tidak pernah mengeluhkan hal ini. Tidak menyisakan ruang sakit hati.

"Sudah nasibku,. as. Jadi harus ikhlas dan tawakal. Tak ada yang perlu disesalkan." kata-katanya sungguh menunjukkan kepolosan hatinya.

Mbak Ani, Mbak Ani, sungguh kemiskinan tiada alasan bagimu untuk mengeluh. Dihianati suami pun tak menjadikan alasan untuk membenci lelaki itu.

Kepolosan hati dan ibadahmu, pasti membuat para malaikat mengiringi setiap  langkahmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun