Kehilangan suami bukanlah berakhirnya kehidupan, tetapi adalah justru awal untuk memulai kehidupan bagi seorang wanita menjadi kuat!
*
Mpok Darmi, begitu aku mengenalnya dan orang-orang selalu memanggilnya. Saya juga heran, kenapa orang-orang memanggilnya mpok?! Padahal ia bukan orang Betawi. Apakah wajahnya memang mirip orang Betawi? Aku sendiri tidak bisa memastikan!
Mungkin hanya kebetulan sudah lama tinggal dipinggiran Jakarta, sehingga lebih enak dipanggil mpok.
"Tidak apa atuh dipanggil Mpok Darmi juga!" Begitu alasannya.
Begitu juga dengan usahanya yang membuka warteg. Asumsinya pasti Mpok Darmi adalah orang Tegal. Padahal kenyataannya Mpok Darmi juga bukan asli Tegal. Mpok Darmi aslinya orang Sunda. Hanya memamg almarhum suaminya adalah orang Tegal.
"Orang Sunda buka warteg kan tidak dilarang!" Mpok Darmi sedikit bercanda memberikan jawaban ketika kutanyakan, mengapa ia membuka usaha warteg.
Mpok Darmi seperti kebanyakan wanita menjelang senja, umur 45 tahunan dengan tubuh yang gemuk. Karena kesibukan hingga lupa merawat diri. Kecantikan masa muda nyaris tak tampak lagi. Mpok Darmi juga tak peduli untuk mencari pendamping dan lebih memilih hidup sendiri.
Puluhan tahun Mpok Darmi bergelut menggelolah usaha wartegnya dengan dibantu anak-anak dan beberapa pegawai. Karena warteg Mpok Darmi berdiri disamping sebuah pabrik yang karyawannya lumayan banyak. Tak heran wartegnya tak pernah sepi. Selain harganya memang memasyarakat, pas dikantong.
Tidak terlihat lelah, walaupun setiap hari dari jam empat subuh sampai malam jam sepuluh beraktifitas di wartegnya.
Dengan tubuh yang gemuk, tapi Mpok Darmi lincah bergerak kesana-kemari untuk mengatur.
Mpok Darmi dalam pandanganku adalah wanita luar biasa. Ulet dan tanpa lelah dengan semangat tinggi untuk hidup demi anak-anaknya.
Karena saat anak-anaknya yang berjumlah 4 orang masih kecil, telah ditinggal suaminya yang dipanggil Yang Maha Kuasa.
"Sejak awal mpok sudah janji pada almarhum bapak dan diri sendiri, mpok harus membesarkan anak-anak dan percaya saja sama Gusti Allah!" Kata Mpok Darmi pada suatu hari.
Berbekal sedikit nekad dan bantuan saudara, Mpok Darmi memulai membuka warteg sebagai sumber pencarian. Bukan hal yang mudah membuka usaha di Jakarta dengan modal pas-pasan. Apalagi kemudian harus kena gusur segala. Lalu harus berpindah-pindah.
Karena kemauan dan usaha serta tawakal, Mpok Darmi mendapatkan tempat yang subur untuk usahanya. Yaitu sebuah pabrik tekstil yang ketika itu baru beroperasi. Sejak itulah Mpok Darmi baru bisa sedikit tenang.
Seorang diri Mpok Darmi harus bersusah payah untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya. Tentu tidak mudah. Tetapi dengan kasih sayangnya Mpok Darmi menjaga anak-anaknya, sehingga anak-anaknya bisa sekolah dengan layak. Bahkan yang pertama sudah lulus menjadi insinyur. Yang kedua masih kuliah, sedang yang ketiga dan keempat masih di SMU.
Berkat kerja keras dan cinta seorang ibu, Mpok Darmi bisa melakukan semua itu. Berjuang atas kerasnya kehidupan di Jakarta dengan usaha wartegnya. Untuk menghidupi kebutuhan anak-anaknya, Mpok Darmi sampai melupakan kebutuhan dirinya sebagai seorang wanita yang masih membutuhkan kasih sayang seorang suami.
Baginya, kehidupan masa depan anak-anak adalah segalanya dan lebih penting. Tekad itu selalu mengalahkan kebutuhan pribadinya.
Mpok Darmi hanya bertekad untuk menunaikan tugasnya sebagai seorang ibu dengan sebaik-baiknya untuk membesarkan anak-anaknya sampai dewasa dengan usaha yang halal dan menjadi anak yang taat pada Tuhan.
Mpok Darmi memberikan harapan kepada para wanita yang harus kehilangan suami. Bahwa semua itu bukanlah akhir dari kehidupan. Tetapi justru adalah sebagai awal kehidupan untuk memulai perjuangan.
Mpok Darmi dengan gagah bisa melakukannya.
Salut dan aku mengacungkan kedua jempol untuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H