Ada kelahiran pasti akan menghadirkan kematian. Kehidupan yang bagaimanakah yang seharusnya dijalani untuk menuju kepada kematian?
*
Tahu-tahu aku dilahirkan dalam tangisan dari seorang wanita yang kemudian akan menjadi ibuku. Tak sempat aku bertanya, sebab tak mengerti.
Dengan berpacunya waktu, tahu-tahu kematian telah menunggu.
Lahir, tua, sakit, dan mati adalah siklus yang harus terjadi pada setiap makhluk.
Aku tak lepas akan hukum kehidupan ini.
"Sahabatku, apakah kelahiran dan kematian itu pilihan atau ketentuan?
Bisa dikatakan sebuah pilihan namun juga bisa dikatakan ketentuan.
Kelahiran dan kematian adalah ketentuan dari Yang Maha Menciptakan. Tetapi kita bisa memilih dan menentukan bagaimana kelahiran dan kematian yang akan dijalani."
"Guru, bagiku yang bodoh ini, sulit untuk memahami kalau aku dilahirkan kemudian harus mengalami kematian. Apalagi yang harus kupilih? Kematian itu tetap menakutkan bagiku!" Aku sedikit bingung.
"Sahabatku, bijaksanalah! Janganlah melekat kepada kelahiran dan kematian ketika saat ini engkau berada diantaranya. Engkau tidak lagi bisa memilih untuk tidak dilahirkan. Lalu apakah engkau akan dengan bodohnya memilih mati saat ini dalam ketakutan?
Yang engkau bisa pilih saat ini adalah menjalani hidupmu sepenuh hati dan mengikuti keinginan nurani. Jalani proses ini secara alami dan sesuai nurani, karena suara nurani adalah suara Ilahi. Itulah penuntunmu yang sejati."
Sang Guru menatapku dalam-dalam sebelum ia melanjutkan.
"Mengapa engkau takut akan kematian? Sebab engkau belum memiliki tujuan dan belum ada bekal untuk menempuh perjalanan selanjutnya setelah kematian.
Tubuhmu adalah berasal dari semesta dan biarkan ia kembali pada semesta. Sementara rohmu adalah keabadian dan biarkan ia kembali kepada keabadiannya.
Percayalah bahwa kematianlah yang akan membawamu untuk mengalami kehidupan abadi.
Tetapi engkau perlu untuk membekali diri selagi nafas masih menyertai dengan hidup menjadi berarti sesuai keyakinan dan nurani. Keabadian adalah milik manusia yang percaya akan kebenaran nuraninya.
Keabadian akan menjadi milik mereka yang bisa membebaskan dan melepaskan dirinya dari kemelekatan duniawi.
Keabadian akan menjadi milik mereka yang percaya pada Tuhannya yang mengasihi!"
"Guru, bukankah kematian juga adalah kesengsaraan?"
"Tentu saja itu berlaku bagi mereka yang menghianati nurani, tidak percaya, dan hidup dalam kesesatan. Yang hidup dalam belenggu kemelekatan pada duniawi dan segala yang berbentuk.
Tidak hidup selaras dengan energi semesta alam dan kebenaran. Selalu dikuasai energi positif dalam tindak-tanduknya."
Bertanya dan bertanya untuk membuka hati. Sebenarnya kelahiran atau kematian sama-sama menakutkan bila belum mengerti.
Sang Guru telah mencerahkan hatiku untuk memahami. Bahwa kelahiran dan kematian adalah alami. Jangan dijadikan beban. Bila perlu, saat kematian akan menjadi pesta yang indah untuk menuju kepada keabadian. Bagaikan seberkas sinar yang menyatu dalam semesta.
Menyatu kembali dalam cahaya keabadian Ilahi dan ini bukan mimpi tetapi kebenaran yang hakiki milik setiap manusia yang telah menemukan kesejatian.
"Terimakasih, guru untuk pencerahannya hari ini yang telah membuka pemahamanku. Kurasa cukup untuk hari ini!" Dengan wajah berseri-seri aku mohon diri.
"Sahabatku, semoga waktu akan menjadikanmu menuju kepada keabadian.
Sinar menteri yang cerah disenja itu sungguh menginspirasiku hari ini untuk menyantap mutiara-mutiara kata Sang Guru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI