Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menuju Keabadian (50k - Aku dan Sang Guru)

5 Januari 2011   12:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:56 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ada kelahiran pasti akan menghadirkan kematian. Kehidupan yang bagaimanakah yang seharusnya dijalani untuk menuju kepada kematian?

*
Tahu-tahu aku dilahirkan dalam tangisan dari seorang wanita yang kemudian akan menjadi ibuku. Tak sempat aku bertanya, sebab tak mengerti.
Dengan berpacunya waktu, tahu-tahu kematian telah menunggu.
Lahir, tua, sakit, dan mati adalah siklus yang harus terjadi pada setiap makhluk.
Aku tak lepas akan hukum kehidupan ini.

"Sahabatku, apakah kelahiran dan kematian itu pilihan atau ketentuan?
Bisa dikatakan sebuah pilihan namun juga bisa dikatakan ketentuan.
Kelahiran dan kematian adalah ketentuan dari Yang Maha Menciptakan. Tetapi kita bisa memilih dan menentukan bagaimana kelahiran dan kematian yang akan dijalani."

"Guru, bagiku yang bodoh ini, sulit untuk memahami kalau aku dilahirkan kemudian harus mengalami kematian. Apalagi yang harus kupilih? Kematian itu tetap menakutkan bagiku!" Aku sedikit bingung.

"Sahabatku, bijaksanalah! Janganlah melekat kepada kelahiran dan kematian ketika saat ini engkau berada diantaranya. Engkau tidak lagi bisa memilih untuk tidak dilahirkan. Lalu apakah engkau akan dengan bodohnya memilih mati saat ini dalam ketakutan?

Yang engkau bisa pilih saat ini adalah menjalani hidupmu sepenuh hati dan mengikuti keinginan nurani. Jalani proses ini secara alami dan sesuai nurani, karena suara nurani adalah suara Ilahi. Itulah penuntunmu yang sejati."

Sang Guru menatapku dalam-dalam sebelum ia melanjutkan.

"Mengapa engkau takut akan kematian? Sebab engkau belum memiliki tujuan dan belum ada bekal untuk menempuh perjalanan selanjutnya setelah kematian.
Tubuhmu adalah berasal dari semesta dan biarkan ia kembali pada semesta. Sementara rohmu adalah keabadian dan biarkan ia kembali kepada keabadiannya.
Percayalah bahwa kematianlah yang akan membawamu untuk mengalami kehidupan abadi.

Tetapi engkau perlu untuk membekali diri selagi nafas masih menyertai dengan hidup menjadi berarti sesuai keyakinan dan nurani. Keabadian adalah milik manusia yang percaya akan kebenaran nuraninya.
Keabadian akan menjadi milik mereka yang bisa membebaskan dan melepaskan dirinya dari kemelekatan duniawi.
Keabadian akan menjadi milik mereka yang percaya pada Tuhannya yang mengasihi!"

"Guru, bukankah kematian juga adalah kesengsaraan?"

"Tentu saja itu berlaku bagi mereka yang menghianati nurani, tidak percaya, dan hidup dalam kesesatan. Yang hidup dalam belenggu kemelekatan pada duniawi dan segala yang berbentuk.
Tidak hidup selaras dengan energi semesta alam dan kebenaran. Selalu dikuasai energi positif dalam tindak-tanduknya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun