Orang yang suka menyebarkan kejelekan orang lain, sesungguhnya ia lebih jelek lagi dan sedang mempertunjukkan keburukan sifatnya!
Dalam lingkungan kehidupan kita, pasti akan menemukan berbagai jenis manusia dengan segala macam tingkah dan sifatnya. Diantara yang bermacam-macam itu, ada satu manusia yang menganggap dirinya yang paling baik.
Siapakah dia?
Dialah yang suka dan selalu membicarakan kejelekan-kejelekan orang lain. Dimatanya tiada manusia yang baik. Apabila ada yang berbuat baik, maka yang ada adalah kecurigaan dan cibiran.
Selalu saja ada kejelekan yang bisa dibicarakan tentang orang lain. Ketika ia tidak menemukan kejelekan pada seseorang, maka ia akan segera mencari-cari alasan untuk menjelekan-jelekan orang tersebut.
Orang seperti ini ketika menemukan temannya sejelas, maka suasana akan menjadi ramai dan penuh gosip. Ia begitu bangganya menceritakan kejelekan dan tak segan untuk menjelekan orang lain untuk mendapatkan sambutan.
Semakin direspon maka akan semakin lancar ia bercerita.
Apakah Anda mengenal jenis orang ini? Atau bahkan itu Anda sendiri? Bisa juga itu adalah saya sendiri!
Seharusnya kita sadar, ketika kita suka membicarakan kejelekan orang lain, sesungguhnya kita sedang mempertunjukkan kejelekan dan kebusukan hati sendiri. Karena orang yang hatinya dipenuhi kebaikan, maka ia tidak akan sekalipun mau berbicara tentang keburukan orang lain. Karena ia sadar hal itu sama halnya menjelekan dirinya sendiri.
Jadi, ia akan hati-hati menjaga dirinya dan menghindari membicarakan keburukan orang lain. Apalagi teman dan orang-orang terdekatnya.
Tetapi bila kita adalah diantara jenis orang ini, maka tidaklah perlu untuk bergabung didalamnya. Karena bila kita masih menganggap diri ini sehat, janganlah sampai ikut menjadi sakit. Bila itu teman, berusahalah mengingatkan dan menasehati.
Menghindari dan tidak merespon adalah pilihan yang baik. Karena bila tidak diri sendiripun akan menjadi sama sebagai biang gosip.
Karena bila suka membicarakan gosip ada keasyikan tersendiri, sehingga kita lupa diri dan lupa waktu untuk berhenti. Lupa bahwa kita juga tidak lebih baik dari yang menjadi pembicaraan kita. Bahkan bisa lebih buruk lagi.
Mungkin kita tidak bisa berhenti untuk berbicara, tetapi kita bisa memilih untuk berbicara tentang kebaikan sekecil apapun tentang orang lain. Dengan demikian kebaikan itu bisa menjadi milik kita juga.
Apapun pilihan kita, belajar menjadi baik adalah lebih mulia dari hanya sekadar merasa baik. Harapan saya kita semua akan baik-baik saja untuk menjadi baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H