Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keperawanan Itu Dijual Ibunya Sendiri...!

4 November 2009   18:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:26 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kasih ibu sepanjang masa. .. .Hanya memberi tak harap kembali. Benarkah? Entah berapa lagu, syair, kisah dan puisi yang telah tercipta dipersembahkan untuk menghormati seorang ibu. Ibu adalah orang paling berarti di dunia ini. Bahkan ada istilah sekejam-kejamnya ibu harimau tidak akan memangsa anaknya sendiri, apalagi seorang ibu yang bernama manusia. Tapi di dunia nyata saat ini sungguh tidak dimengerti kalau sampai ada seorang ibu yang tega dan rela untuk menjual anak gadisnya sendiri untuk melayani nafsu lelaki dan sang ayah sepertinya juga mendukung. Sulit diterima dengan akal sehat dan ini sungguh terjadi dalam kehidupan nyata disekitar kita. Ketika ada yang mengingatkan, ia masih bisa dengan lantang mengatakan, ini anak saya sendiri, saya yang melahirkan. Mau saya jadikan apa juga, itu urusan saya, hak saya, buat apa ikut campur?! Ini yang saya ketahui, mungkin masih ada atau banyak ibu-ibu yang seperti ini di dunia ini. Sungguh tragis dan sulit dimengerti hidup ini. Karena ceritanya bukan hanya itu. Yang lebih bikin miris dan saya tak habis pikir adalah yang dijual itu bukan hanya satu anak gadisnya saja, tapi tiga anak gadisnya . Satu persatu dijual demi untuk memenuhi nafkah keluarga, karena ayah dan ibu mereka tak mau bersusah payah mencari nafkah. Saya tidak tahu bagaimana perasaan anak-anak gadis itu, mungkin pertama kali terpaksa karena dipaksa orangtua, tapi setelah itu menikmati saja, merasakan begitu gampang mendapatkan duit. Karena saya lihat mereka enjoy-enjoy saja seakan tiada beban. Entahlah kalau dalam hatinya, jangan-jangan sedang mengutuki ibunya dan menjerit pilu. Setelah yang pertama menikah, sekarang tinggal berdua masih menjalani, setiap hari menunggu panggilan. Sang ibu yang mencarikan langganan. Para pria tak sungkan datang menjemput tanpa perlu merasa malu. Saya tak tahu bagaimana ceritanya sampai seorang ibu dan ayahnya yang bernama manusia itu tega melakukan hal ini? Kemanakah nurani mereka perginya? Pikiran apa yang telah merasuki mereka? Dimana tanggungjawabnya sebagai orangtua adalah menjaga dan mendidik anak - anak mereka agar punya masa depan dan berguna kelak dalam hidupnya. Tapi sejak dalam usia remaja masa depannya telah dihancurkan dan tinggal menatap masa depan dengan linangan air mata. Mungkin kelihatan dari luar mereka biasa saja, tapi bagaimana keadaan hatinya yang paling dalam? Mungkin sedang menjerit dan menangis meratapi nasibnya yang ketika baru menginjak masa remaja, sudah harus melayani para lelaki hidung belang. Apakah tiada jalan lain lagi untuk mencari nafkah bagi kehidupannya, selain harus menjual keperawanan anak-anaknya tanpa harus merasa bersalah? Jadi istilah kasih ibu sepanjang masa , hanya memberi, tak harap kembali tak berlaku lagi? Karena si ibu merasakan selama ini telah banyak berkorban untuk menghidupi anak-anaknya, wajarlah kalau sekarang anak-anaknya yang membalas budi untuk mereka. Tetapi kenapa harus menjual diri dan mengorbankan masa depan mereka? Pembelajaran apa yang aku dapatkan dari peristiwa hidup ini selain merasa kasihan, keprihatinan dan berdoa? Kalau mengingatkan pun sudah tak mempan juga? Tetaplah berdoa semoga dibukakan hatinya. . . dan jangan ada lagi ibu -ibu seperti ini lagi didunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun