Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kematian

18 Februari 2014   16:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seumur-umur, walau entah berapa kali sudah bicara atau menulis tentang kematian, tapi Sabtu, 15 Februari 2014 baru secara langsung menyaksikan proses kematian.

Malam itu, kami berkumpul di rumah sakit berdoa untuk melepaskan kepergian kakak ipar setelah menderita sakit sekian lama dan upaya pengobatan yang terbaik telah dilakukan. Segala macam alat pengobatan terpasang untuk menunjang kelangsungan hidup. Namun akhirnya takdir yang menentukan.

Dari awal ada ketidakrelaan meninggalkan anak-anak dan suami sampai kemudian dengan tenang menghembuskan nafas yang terakhir. Lalu dokter yang menangani mengatakan, sudah 'pergi' karena dari alat yang terpasang sudah menunjukkan tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Semua saya saksikan di depan saya dengan tenang. Padahal biasanya saya paling takut menyaksikan kematian.

Semua yang Hidup Pasti Mati Tapi Hidup Bukan Untuk Menunggu Kematian

Setiap makhluk yang dilahirkan pada akhirnya akan mendapat giliran kematian dalam bentuk fisik. Walau seorang Nabi atau Buddha sekalipun. Ini adalah kebenaran mutlak yang tak dapat disanggah lagi.

Sebab yang namanya makhluk hidup, dalam hal ini manusia yang terdiri dari darah dan daging atau lebih rincinya terdiri dari lima unsur. Yakni air, api, kayu, logam, dan tanah adalah tidak kekal.

Setelah roh yang menghuni tubuh pergi, maka kelima unsur yang ada akan kembali ke asalnya. Roh yang akan mempertanggung jawabkan segala perbuatan semasa hidup.

Yang hidup memang pasti akan mati. Bukan berarti kita hidup hanya untuk menunggu mati. Lalu melakukan apa saja yang kita suka. Memuaskan nafsu dan berenang-senang dalam keduniawian. Tak heran ada istilah 'mumpung masih hidup, makanlah sepuasnya. Kalau sudah mati tak ada kesempatan lagi.' Ada persepsi yang salah dalam hal ini.

Hidup Harus Berarti

Kebenarannya adalah hidup bukan sekadar hidup untuk menunggu mati. Bila demikian alangkah sia-sianya kesempatan yang diberikan Tuhan selama keberadaan di dunia ini. Berakhir dengan penyesalan. Waktu yang berlalu tak mungkin kembali lagi.

Apa yang dapat kita berikan pada kehidupan ini, sehingga hidup kita menjadi berarti? Tentu dengan segala potensi yang kita miliki sebagai makhluk yang memiliki nurani dan akal budi banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menjadi berarti. Apalagi dalam kehidupan kita telah memiliki penuntun jalan berupa ajaran agama. Pasti kita paham dalam hal ini. Bagaimana menjadikan hidup ini berarti?

Tujuan kita terlahir ke dunia tak lain adalah agar kita dapat berarti bagi sesama. Saling tolong, saling mengasihi, saling peduli dengan berbagai cara yang dapat kita lakukan. Jalan bakti atau pelayanan merupakan pilihan yang terbaik.

Sebelum Kematian

Kematian adalah pasti. Waktunya kapan itu yang selalu menjadi misteri. Mempersiapkan diri dengan hidup sesuai nurani itu pilihan yang suci. Sebab itu adalah belahan jiwa yang sejati.

Perbanyak kebaikan, kurangi kejahatan dan selalu menyucikan hati dan pikiran itu yang perlu dijadikan pedoman hidup sebagai manusia.

Semua yang berbentuk atau keduniawian hanyalah fatamorgana. Tidak kekal, sehingga tak layak melekat kepada semua itu. Sebab ketika ada kemelekatan, maka akan menjadi beban kelak ketika hendak 'pergi'.

Bahwa tujuan hidup bukanlah untuk memenuhi keserakahan menumpuk kekayaan. Semuanya tak mungkin akan di bawa pada waktunya. Tetapi memperkaya  hati, memupuk budi  dan menyebarkan cinta kasih adalah pilihan yang berguna. Sebab kelak dapat menjadi penuntun jalan untuk 'pulang'.

AFIRMASI:
Tuhan, terangilah hati kami dengan Cahaya dan Kasih-Mu untuk menuntun kami hidup dalam kebaikan nurani sebelum kematian itu datang. Tuhan, terangi hidup kami agar selalu rindu untuk hidup dalam belas kasih, sehingga kelak menjadi penerang kami di saat kematian menjelang.

@refleksihatimenerangidiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun