Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Anak

3 April 2014   20:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Katanya 'membuat anak' itu mudah. Asal punya kelamin dan  punya nafsu pun bisa. Tidak perlu pakai hati. Bahkan dalam gelap dan mata tertutup bakal bisa bikin anak. Tidak perlu teknik khusus atau harus pakai kursus. Sebab secara alami manusia sudah tahu caranya dan proses bertumbuhnya janin dalam perut, tubuh sudah memiliki kecerdasannya sendiri.

Setelah anak itu jadi dan lahir ke dunia, untuk mendidik anak itu perlu perhatian dan cara khusus. Tetapi antara kerinduan untuk memiliki anak berbanding dengan kerinduan untuk mendidiknya tidak seimbang. Jaman sekarang, realitanya tidak sedikit orangtua yang kurang mengajari anaknya, sehingga tumbuh menjadi anak-anak yang kurang ajar.

Orangtua Kurang Ajar pada Anak, Wajar Anak Berkelakuan Kurang Ajar

Sebagai orangtua kita sering menyepelekan hal-hal kecil dengan kelakuan anak dalam keseharian. Sering kita mendengar perkataan,"Gak apa-apa, namanya juga anak-anak!"

Dalam hal ini seakan terjadi pembiaran ketika anak kita menunjukkan perilaku nakal. Anak yang mulai berperilaku nakal ketika mendengar mereka dibela dengan perkataan 'tidak apa-apa' serasa mendapat angin segar untuk meneruskan kenakalannya.

Pemahaman bahwa kalau anak-anak itu nakal tidak apa-apa, sejatinya tanpa kita sadari justru menjerumuskan mereka dalam kenakalan. Bukankah justru anak-anak sedari kecil perlu diajari, agar jangan nakal?

Tak heran kalau akibat sebagai orangtua kurang ajar pada anaknya, pada akhirnya anak akan menjadi kurang ajar pada orangtuanya sendiri. Realitanya, akibat anak kurang diajar, ada anak yang berani maki-maki dan bilang orangtuanya 'bego'. Kalau sudah menjelang besar, bisa-bisa orangtuanya dihajar.

Akibat kurang ajar dari orangtua, lama-lama anak menjadi raja di rumah dan orangtua menjadi budaknya. Segala keinginan mereka harus dipenuhi. Tidak boleh tidak. Terlepas dibutuhkan atau tidak dengan 'lugunya' orangtua mati-matian memenuhinya, agar tidak dimarahi anaknya sendiri. Ini dua-duanya kurang ajar nih.

Lebih Mengutamakan Pemenuhan Kebutuhan Duniawi daripada Rohani

Pada kemajuan jaman saat ini, sayangnya kearifan kita malah mengalami kemunduran dalam menentukan arah kehidupan dan pilihan yang benar.

Anak yang merupakan harapan masa depan dan buah hati kita, sudah kurang mendapat didikan kita malah lebih memilih memenuhi segala kebutuhan yang bersifat fisik.

Kita rela mati-matian bekerja sampai meninggalkan anak siang dan malam di rumah demi untuk membeli susu, kebutuhannya sehari-hari dan sekolah atau membelikan mainan. Kita pun rela menyerahkan urusan mengurus anak kepada orang lain.

Kita lebih bangga anak kita tumbuh dengan tubuh yang sehat dan mendapat nilai yang besar di sekolah, sampai kita lupa memenuhi kebutuhan rohani mereka dengan ajaran spiritual dan budi pekerti. Kita lebih suka anak kita berbohong daripada ia menjadi jujur.

Tak heran anak-anak tumbuh dengan kekurangan gizi dalam spiritualitasnya. Sangat-sangat jarang bisa menemukan anak-anak yang santun dan bertutur kata yang lembut.

Kualitas Orangtua dan Bimbingan Agama

Tak bisa dipungkuri, selain kemajuan jaman dan pergaulan yang semakin bebas memang sangat memengaruhi perilaku seorang anak, kualitas orangtua juga sangat berperan dan menentukan.

Apakah kita yang menikah sudah siap menjadi orangtua? Tentu relatif. Ada yang sudah siap, ada pula yang jadi anak (baik) saja belum bisa. Lalu menikah. Bagaimana menjadi orangtua bagi anak-anaknya? Bisa suka-suka jadinya.

Tak sedikit yang menikah hanya bermodalkan suka sama suka dicampur sedikit cinta dan nafsu demi untuk menikmati malam-malam keindahan surgawi. Katanya. Urusan pemahaman sakralnya sebuah pernikahan dilupakan. Tidak aneh kalau terjadi perceraian.

Dalam hal ini bimbingan pernikahan dari lembaga agama sangat sedikit berperan. Walau memang ada agama tertentu yang sangat ketat dan memberikan bimbingan bagi pasangan yang hendak menikah. Sebab sejatinya pernikahan itu seumur hidup sekali.

Kalau orangtuanya siap dan memiliki kualitas sebagai orangtua, tentu kemungkinan besar akan lebih bisa mendidik anak-anaknya kelak.

Ini lagi bicara tentang orangtua yang mana sih? Soalnya saya juga orangtua dan punya anak yang rada-rada nakal. Duh....

AFIRMASI:

Tuhan, terima kasih atas Kasih dan Cahaya-Mu, sebab melalui tulisan ini kami dan khususnya saya pribadi dapat pembelajaran dan kesadaran untuk menata diri menjadi orangtua yang mampu untuk mendidik anak-anak kami, agar dapat mengingat-Mu dan berbudi pekerti.

@refleksihatimenerangidiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun