Satu keinginan baik dan mulia, belum tentu akan mendapat sambutan yang baik dan rasa suka. Begitu pula dengan keinginan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini atau sering disapa dengan Bu Risma yang hendak menutup Dolly, tempat yang menjadi sumber kemaksiatan hidup anak manusia.
Dalam hal ini Bu Risma tentu sudah menyadari nampak yang akan ditimbulkan berhubungan dengan mata pencaharian sebagai sumber untuk mempertahankan hidup. Untuk itu usaha mencari solusi dilakukan tapi tetap saja tidak akan dapat memuaskan semua penghuni di sana. Sebab sudah ada yang merasakan zona nyaman dalam kemaksiatan.
Apakah Penutupan Dolly Akan Menghilangkan Pelacuran?
Mustahil memang dengan hanya penutupan Dolly yang menjadi lokalisasi terbesar di Asia Tenggara akan dapat melenyapkan Pekerja Seks Komersil (PSK) dari peredaran. Sebab pelacuran sudah menjadi bagian kehidupan manusia. Bahkan di bagian dunia lain sudah dilegalkan.
Di negeri kita sendiri pelacuran bukan hal yang aneh lagi. Sudah terlalu umum dan kasat mata. Di mana - mana ada. Dari yang menjajakan diri di pinggir jalan, di dalam gedung, di hutan sampai di tengah laut. Bahkan ada yang melacurkan diri di rumah dengan sepengetahuan orangtuanya.
Dari sekian alasan yang ada, faktor ekonomi tetaplah menjadi yang utama. Jadi selama manusia masih butuh makan dan selama para lelaki masih punya nafsu seks, maka pelacuran akan selalu ada.
Banyak jalan menuju Roma, begitu juga bagi mereka yang berniat menjajakan diri. Pernah saya kesasar ke suatu tempat yang bernama Belakang Padang, sebuah pulau kecil di Batam. Dari pulau kecil tersebut harus naik perahu motor lagi ke sebuah tempat yang agak menjauhi dari pulau tersebut. Bukan sebuah daratan tapi tempat yang dibangun khusus dari tiang - tiang kayu dan di atasnya dibangun rumah - rumah yang dijadikan lokalisasi.
Apa gerangan saya ke sana? Tujuannya mencari seorang teman yang mengaku kerja di restauran di Batam. Setelah sampai saya baru tahu itu lokalisasi yang khusus melayani encek - encek dari Singapura. Tahu dari mana para PSK itu? Tak disangka kebanyakan dari mereka berbahasa Sunda. Sebab mereka memang sebagian berasal dari daerah Jawa Barat dan Banten. Sayang, waktu itu sebagai relawan saya tak punya cukup uang untuk bermain - main dengan salah satunya ha ha ha ....
Apakah sia - sia usaha penutupan Dolly?
Sebuah niat baik dan luhur dari Bu Risma tentu tidak akan sia - sia. Kalau pun Dolly ditutup para PSK yang sudah kadung nyaman dengan profesinya tetap akan mencari tempat baru untuk menjajakan dirinya. Apa boleh buat?
Tetapi niat baik pasti ada nilainya. Apalagi dengan rasa kasih akan kaumnya yang bergumul dalam kenistaan demi hidupnya. Namanya usaha yang baik dan sudah dengan memberikan solusi.
Masalah nanti akan hadir lokalisasi baru tentu akan menjadi tantangan tersendiri lagi yang mereka yang komitmen untuk menghambat pertumbuhan pelacuran secara terang - terangan.
Hidup Memang Selalu Pembenaran
Lihatlah para PSK dan para pembelanya dengan gagah berani melawan penutupan Dolly yang sedianya akan dilaksanakan pada Rabu, 18 Juli 2014. Segala pembenaran dilontarkan. Yang utama adalah masalah perut. Seakan di dunia ini hanya ada satu pekerja saja yang layak ditekuni.
Atas demi menafkahi keluarga mereka dengan gagah berani melawan dan merasa bangga atas pekerjaan yang mereka lakoni. Tidak perlu lagi merasa bersalah walau harus melacurkan tubuhnya.
Isi perut lebih dari segalanya walau mendapatkannya dengan cara yang tidak pantas. Padahal dikabarkan, demi untuk memberi pencerahan kepada para PSK berkenaan dengan pekerjaan mereka sudah didatangkan ustad dan kiai.
Walau bekerja di dunia yang dianggap penuh kenistaan, mereka tetap ada yang merasa berharga dan bak pahlawan bagi keluarganya. Toh yang namanya uang itu tak berdosa.
Bagaimana dengan Kita?
Apakah kita lebih baik daripada mereka yang melacurkan diri? Mungkin ada di antara kita yang merasa lebih terhormat padahal sama - sama menjual tubuhnya. Terhormatnya karena atas nama seni.
Ada juga di antara kita yang tak harus buka baju jual tubuh, malahan dengan pakai rapi berdasi. Tetapi tak segan juga melacurkan pikiran atau kepintarannya. Termasuk ada yang rela melacurkan kata - katanya demi untuk siapa yang bayar.
Apa bedanya dengan oknum dewan yang terhormat yang melacurkan jabatannya demi untuk mencuri uang rakyatnya atas nama komisi atau fee?
Apa bedanya dengan ada di antara kita yang melacurkan kepintaran dengan memutarbalikan fakta semata - mata untuk menambah pundi - pundi kekayaan? Demi uang atau aktualisasi diri dengan menulis pun kita bisa melacurkan diri. Jadi mikir.
Bisa juga ada yang melacurkan diri dengan kata - kata manis menjilat tuannya dengan gagah perkasa demi untuk mendapatkan segepok uang dan penghargaan semu. Apa bedanya dengan mereka yang melacurkan tubuhnya di Dolly? Pembenaran yang akan membedakan.
Afirmasi :
Tuhan, semoga ketika hati kami miris dan bahkan merendahkan saudara - saudara kami yang harus berjuang hidup dengan melacurkan tubuhnya, seyogjanya kami dapat menginsyafi diri dengan bertanya - tanya : Apakah kami melakukan hal yang sama tetapi dalam bentuk pelacuran yang lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H