Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Aku

16 Agustus 2014   04:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:25 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Aku adalah sumber kemarahan. Aku adalah sumber kekecewaan. Namun kita begitu suka akan ke - aku - an itu. Aku adalah sumber penderitaan, tetapi kita suka memilikinya. Aku adalah penyebab kita jatuh dalam kesombongan. Aku adalah sumber dari pertikaian. Namun kita masih memegang erat ke - aku - an seakan enggan melepaskan.

Aku yang kita bangga - banggakan sesungguhnya adalah palsu. Tetapi karena sedemikian berkuasanya, Aku yang sejati pun tak berdaya untuk berkuasa atas hidup kita. Begitulah aku yang palsu itu sepanjang waktu menjadi tuan atas diri kita.

Aku adalah Sumber Kemarahan dan Kekecewaan

Sepatah kata 'monyet' pun bisa membuat si aku marah besar. Padahal kata 'monyet' itu tak mungkin akan menjadikan kita seekor monyet. Itu kalau akal sehat yang bekerja. Tetapi karena si aku yang berkuasa, maka amarahlah yang bekerja dan akhirnya membuat kita tak ubahnya teman monyet.

Karena menganggap semua yang dimiliki sebagai miliki si aku, maka akan begitu marahnya kita bila ada yang mengambilnya. Coba mobil kita yang masih mulus tiba - tiba ditabrak orang lain.

Apa yang terjadi? Marah! Ini milikku. Tak rela jadi rusak. Kita lupa bahwa semua yang ada pada kita cuma titipan semata. Apa yang bisa kita bawa? Begitu mati tak ada satu pun bisa kita bawa serta. Bahkan tubuh yang begitu kita sayang pada waktunya akan hancur kembali ke asalnya.

Ketika ada ke - aku - an, maka kehilangan barang yang kita miliki akan menjadi sumber kekecewaan. Pada saat kita sudah melakukan kebaikan namun tak mendapat penghargaan, maka hadir kekecewaan. Sebab si aku memang rindu dengan puja - puji.

Begitu juga mana kalau kita berniat menolong atas nama aku tetapi disalah pahami, si aku akan menjadi kecewa. Namun bila niat itu tulus dan berasal dari aku yang sejati, pasti tidak akan ada kekecewaan apapun reaksi yang diterima.

Ada kecewa karena si aku butuh penghargaan tapi tak mendapatkannya. Aku penuh dengan keinginan, tetapi pasti semua keinginan tak akan jadi kenyataan. Adanya keinginan aku, pastinya akan menerima kecewa.

Aku adalah Sumber  Jatuh dalam Kesombongan

Pada saat kita melakukan hal yang baik dan mendapat penghargaan tentu menyenangkan. Siapa yang tidak bangga? Bahkan kita akan menceritakan dan menyebarkan ke mana - mana. Apa tujuannya? Bukankah untuk mendapat pujian?

Ketika pujian datang, maka si aku akan dengan bangga menepuk dada dan berkata,"Aku memang hebat!" atau "Siapa dulu dong? Aku!"

Atas segala prestasi bila aku yang berkuasa, maka muncullah kesombongan merasa diri yang paling hebat. Atas segala kebaikan si aku tak sungkan untuk mengakui semua itu sebagai pencapaiannya. Itulah kalau si aku yang menjadi penguasa

Namun bila aku sejati yang menjadi raja, maka akan menganggap semua kebaikan dan prestasi semata adalah berkat Kuasa Tuhan. Tidak mengakui semua pencapaian sebagai kehebatan diri sendiri.

Aku adalah Sumber Pertikaian

Mengapa ada perselisihan antar teman, saudara atau dengan sesama? Sebab yang di kedepankan adalah aku kita masing - masing.

Bisa kita saksikan betapa banyaknya pertikaian yang terjadi di dunia, baik dalam skala kecil antar teman  maupun skala besar perang antar kampung atau antar negara yang menjadi penyebab adalah besarnya si aku pada masing - masing pihak. Ibarat api bertemu bensin, maka suasana yang tercipta semakin memanas.

Ketika aku yang berbicara, maka akan merasa diri yang paling benar. Gengsi untuk mengalah, sehingga yang ada saling menyalahkan. Timbullah pertikaian yang bisa berefek saling diam atau saling serang.

Bila terjadi masalah kepala dingin dan hati yang damai menjadi pedoman, maka masalah dapat diselesaikan dengan baik. Sebaliknya bila aku yang menjadi pijakan, yang ada adalah saling merasa benar dan tak ada yang mau mengalah. Ujung - ujungnya akan saling bertikai demi untuk memuaskan nafsu si aku.

Betapa kita enggan melepaskan aku untuk menjadi penguasa hidup kita, sebab si aku pun mengklaim apa yang dilakukannya sebagai 'kebenaran hakiki' yang harus dipertahankan sampai darah penghabisan. Si aku akan mati - matian membela harga diri karena dihina, alih - alih memaafkan si aku tak segan membela orang yang menghinanya atas nama kebenaran. Bisa menuntas dendam akan memuaskan si aku dan itulah kebenaran versi si aku.

Refleksi :

Ajaran Kebenaran mengajarkan kepada kita untuk membina diri dengan mengikis ke - aku - an di dalam diri kita menjadi seminimal mungkin dan membangkitkan aku yang sejati atau Nurani. Ketika aku yang sejati menjadi tuan rumah, maka tidak lagi dikuasai oleh keinginan, puja - puji, tanpa pamrih, tidak merasa paling baik dan hebat.


Namun sebaliknya dunia mengajarkan kepada kita, agar si aku yang menjadi raja atas hidup kita dan dunia akan menipu kita bahwa semua itu baik dan benar. Di sinilah kearifan yang memegang peranan penting, kita percaya akan aku yang penuh emosi sebagai diri kita atau aku yang penuh kasih adalah aku yang sesungguhnya.

katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun