Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tawa

9 September 2014   05:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Demi memancing tawa kita, para pelawak tidak segan menggunakan cara yang kasar dan etis. Bahkan bisa menyinggung perasaan. Selain itu saling menghina pun dilakukan semata, agar para penonpon rela tertawa.

Apakah kita sampai harus rela menertawakan kekuarangan dan kehinaan orang lain, sehingga secara perlahan akan melupakan rasa peduli kita? Sepertinya dunia sedang mengajarkan kepada kita untuk demikian.

Tertawa yang ikhlas dan tulus dari hati memang dapat menyehatkan raga dan jiwa. Tetapi suka menertawakan orang lain justru akan membuat kita kehilangan empati.

Menertawakan Orang Lain adalah  Menyedihkan, Lebih Menyedihkan Lagi Kita Tidak Menyadari sedang Menjadi Tertawaan Orang Lain

Sadar tidak sadar kita memang suka menertawakan orang lain. Susahnya kita malah senang menertawakan kesusahan orang lain. Orang lain sedang tertimpa kemalangan kita malah tertawakan.

Ketika kita menertawakan kemiskinan atau kemalangan orang lain, kita sendiri layak untuk ditertawakan atas kemiskinan jiwa kita. Miskin empati. Tatkala kita terbahak - bahak menertawakan kebodohan seseorang, bisa jadi pada saat yang sama kita sendiri sedang ditertawakan.

Sebab kita sendiri tidak lebih pintar daripada yang ditertawakan. Orang yang suka menertawakan kebodohan orang, jelas memperlihatkan dirinya tidak memiliki kecerdasan spiritual.

Kita senang menonton acara lawak yang hanya berisi olok - olok sesamanya. Bahkan ada yang rela diserupakan dengan hewan. Menyedihkan bukan? Apakah harus sampai demikian? Apa pedulinya? Yang penting bisa tertawa.

Bila menertawakan orang lain sudah menjadi keseharian kita. Apakah kita pernah bercermin dengan segala perilaku kita? Jangan - jangan dengan apa yang kita lakukan sedang menjadi bahan tertawaan orang lain?

Apakah kita sedang serupa dengan para pejabat atau pemimpin kita yang bobrok dengan tingkah lakunya yang sedang menjadi bahan tertawaan rakyatnya?

Yang ucapan dan perilakunya bertolak belakang? Di atas mimbar bicara tentang integritas berapi - api, tapi perilakunya penuh kelicikan dan kecurangan demi sebuah kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun