Ketika saya berpikir sudah punya rasa malu danĀ merasa sudah cukup baik dengan apa yang saya lakukan, ternyata setelah merenungkan sedikit mendalam, malahan memalukan karena saya tidak sebaik yang saya pikirkan. Saya punya rasa malu dan merasa baik, padahal justru tidak tahu malu untuk berbuat kebaikan.
Acapkali kita memang suka merasa diri sudah baik dan benar dengan apa yang kita lakukan. Begitulah pikiran seringkali menipu kita. Padahal apa yang kita lakukan masih jauh dari nilai baik dan benar. Bahkan lebih memalukan.
Punya Rasa Malu Saja Belum Cukup
Siapa yang tak mau makan gratis di restoran mahal dan enak pula? Untuk kali kedua saya mendapat undangan khusus untuk menghadiri perjamuan makan (menu vegetarian semua) di sebuah restoran terkenal di bilangan Gunung Sahari, Jakarta.
Yang pertama kali saya merasa senang-senang saja dan ada rasa bangga mendapat undangan khusus tersebut. Selain makan enak pun bisa bertemu kawan-kawan lama tentunya.
Untuk kali ini saya merasa malu untuk menerimanya, sehingga tidak datang. Sebab saya tahu acara yang diadakan adalah dalam rangka pengumpulan dana untuk pembangunan tempat ibadah. Setiap yang hadir adalah orang-orang yang telah menyumbang dengan dana sekian.
Dalam hal ini pengumpulan dananya dengan cara 'menjual' undangan dengan tiga jenis nominal. Sesuai dengan keikhlasan masing-masing. dalam berdanaĀ Jadi jamuan makannya adalah sebagai tanda terima kasih kepada para dermawan yang telah menyumbang. Untuk itu menu yang disediakan semuanya sama.
Saya pikir dan merasa malu kalau harus datang dan makan secara gratis tanpa bisa menyumbang. Bukan sudah baik sikap saya ini? Tidak aji mumpung dapat undangan khusus tanpa harus menyumbang terlebih dahulu.
Apakah sudah baik dan benar yang saya lakukan? Apakah sekadar punya malu saja sudah merasa jadi orang baik?
Tahu Malu yang Memalukan
Belakangan masalah ini masih menjadi renungan tersendiri ketika ada kawan yang menanyakan ketidakhadiran saya. Sepertinya ada yang kurang benar dengan alasan saya yang merasa malu dan tidak enak hati
Saya jadi merenung. Undangan khusus yang diberikan kepada saya pasti ada maksud dan niat baik untuk kehadiran saya. Apakah tidak mengecewakan orang yang telah dengan niat dan kebaikan mengundang? Saya jadi berpikir seandainya saya yang berada di posisi itu pasti akan kecewa juga.
Kalau saja saya punya rasa malu yang saya jadikan alasan dan kebanggaan sebagai orang baik, sejatinya saya bisa hadir. Dengan ini saya tidak memalukan diri sendiri karena sudah tidak menghargai penghargaan dari orang lain.
Seandainya Punya Rasa Malu yang Sejati
Kalau saja saya memang punya rasa malu yang sejati sebagai nilai kebaikan, maka saya pasti akan hadir. Bukan semata karena untuk menikmati makan gratis yang disajikan satu per satu di meja sambil dihibur dengan pelayanan yang super ramah. Lalu pulang dengan perut yang kenyang.
Pada kesempatan itu dengan rasa malu yang ada pasti masih punya kesempatan untuk memberikan sumbangan dana sesuai dengan kemampuan saya. Sayangnya justru dengan tidak malu malah sibuk memikirkan ketidakmampuan untuk berdana.
Saya malah tidak malu sibuk mencari-cari alasan mematikan, sehingga merasa tidak perlu malu untuk tidak berdana sama sekali. Padahal kalau ada niat pasti bisa walau sedikit saja. Masalahnya itu lagi-lagi berhubungan dengan rasa malu yang tidak semestinya. Malu kalau cuma memberi sedikit. Daripada malu lebih baik tak usah, sehingga tidak perlu malu. Padahal sungguh memalukan!
katedrarajawen@pembelajarandarisebuahperistiwa