Saya jadi merenung. Undangan khusus yang diberikan kepada saya pasti ada maksud dan niat baik untuk kehadiran saya. Apakah tidak mengecewakan orang yang telah dengan niat dan kebaikan mengundang? Saya jadi berpikir seandainya saya yang berada di posisi itu pasti akan kecewa juga.
Kalau saja saya punya rasa malu yang saya jadikan alasan dan kebanggaan sebagai orang baik, sejatinya saya bisa hadir. Dengan ini saya tidak memalukan diri sendiri karena sudah tidak menghargai penghargaan dari orang lain.
Seandainya Punya Rasa Malu yang Sejati
Kalau saja saya memang punya rasa malu yang sejati sebagai nilai kebaikan, maka saya pasti akan hadir. Bukan semata karena untuk menikmati makan gratis yang disajikan satu per satu di meja sambil dihibur dengan pelayanan yang super ramah. Lalu pulang dengan perut yang kenyang.
Pada kesempatan itu dengan rasa malu yang ada pasti masih punya kesempatan untuk memberikan sumbangan dana sesuai dengan kemampuan saya. Sayangnya justru dengan tidak malu malah sibuk memikirkan ketidakmampuan untuk berdana.
Saya malah tidak malu sibuk mencari-cari alasan mematikan, sehingga merasa tidak perlu malu untuk tidak berdana sama sekali. Padahal kalau ada niat pasti bisa walau sedikit saja. Masalahnya itu lagi-lagi berhubungan dengan rasa malu yang tidak semestinya. Malu kalau cuma memberi sedikit. Daripada malu lebih baik tak usah, sehingga tidak perlu malu. Padahal sungguh memalukan!
katedrarajawen@pembelajarandarisebuahperistiwa