Cigamea, nama tersebut pertama saya dapatkan dari seorang sahabat lama yang tinggal di Bogor. Kemudian malam hari saya coba cek di google dan dapatlah beberapa foto tentang curug Cigamea. Hal tersebut semakin membuat saya semakin penasaran ingin mengunjungi tempat tersebut yang konon dekat dengan kota Bogor. Seperti biasa, I am a lonely traveller sometimes. Dan kadang dikala jemu, saya menemukan keasyikan sendiri berpetualangan di alam bebas. Tanpa disadari saya sudah melakukan hal tersebut semenjak saya bekerja di Bali. Hanya berbekal sebuah peta, saya bisa membawa mobil dari Denpasar – Jakarta seorang diri untuk pertama kalinya, hal tersebut mengalahkan rasa takut saya akan kesendirian dan kebosanan.
Seperti dalam film Into The Wild arahan sutradara Sean Penn. Dalam buku dan film Into The Wild, dikisahkan bagaimana seorang manusia harus keluar dari zona nyaman (comfort zone) dan mencoba bersahabat dengan alam. Kali ini saya mencoba keluar dari zona nyaman yang selama ini sering saya lakukan. Dengan mengendarai sepeda motor, saya mencoba seorang diri untuk menemukan dimana letak Curug Cigamea yang membuat saya penasaran selama beberapa hari ini. Dari arah Bekasi saya memacu motor saya melewati Cibubur – Cileungsi – Cibinong – Pintu Tol Sentul, kemudian mengambil arah ke Bogor. Setelah sampai dipertigaan menuju ke kota Bogor, saya mengambil arah ke Kedung Halang - Warung Jambu, dari Warung Jambu saya belok kanan menuju ke arah Taman Jasmine, kemudian diteruskan ke arah terminal Bubulak – JL. Raya IPB Darmaga. Nah kemudian saya mencoba bertanya arah Curug Cigamea.
Perjalanan dilanjutkan dari depan IPB Darmaga menuju ke arah Leuwiliang, dari Jalan Raya Warung Boyong saya kembali bertanya dengan penduduk lokal. Dan jawabannya cukup mengejutkan, ia tidak pernah mengunjungi Curug Cigamea dan kemudian ia membantu saya untuk menanyakan dengan saudara lelakinya. Dari situlah saya tahu bahwa saya tidak salah jalan. Kemudian saya memacu motor saya kembali, entah mengapa saya sepertinya ingin kembali bertanya. Didepan Indomart saya bertanya ke seorang tukang ojek yang saya harapkan tahu arahnya, ternyata hanya 2 meter dari tempat saya bertanya ada sebuah belokan ke kiri. Nah itu arah ke Curug Cigamea, jadi apabila kalian mau kesana harus extra hati-hati jangan sampai keterusan. Sesampainya di Jalan Raya Warung Boyong yang menuju ke Leuwiliang, ada dua buah mini market (Indo Mart dan Alfa Mart) yang bersebrangan. Disitulah kalian harus belok ke kiri. Hebatnya...tidak ada satupun penunjuk jalan yang mengatakan bahwa jalan tersebut menuju ke Curug Cigamea. Menurut penuturan tukang ojek yang baik hati itu, jarak ke Curug Cigamea dari IndoMart sejauh 15 km. Berarti perkiraan saya sekitar 30 menit waktu tempuhnya.
Diujung tampak dengan megah berdiri Gunung Salak, salahsatu gunung Keramat di Jawa Barat setelah Gunung Gede dan Ciremai. Karena konon di Gunung Salak inilah Prabu Siliwangi, Maharaja Kerajaan Hindu Padjajaran – Siliwangi moksa (menghilang). Beliau menghilang di Gunung Salak karena menurut sejarah terdesak oleh kerajaan Islam dari Cirebon. Untuk itu, saya mengikuti prinsip Tri Hita Karana(manusia dengan Tuhan, Alam dan sesama), saya percaya pasti ada hal yang secara kasat mata tidak terlihat - yang berada disekitar gunung tersebut. Untuk itu dalam hati saya selalu mengucapkan salam menurut kepercayaan agama saya. Yang saya minta agar diberi keselamatan dan agar tidak diberi hujan, karena saya ingin menikmati ciptaan Tuhan YME, the amazing waterfalls – Curug Cigamea. Dari penuturan teman saya, bahwa Bogor dilanda hujan terus menerus dan saya disarankan agar jangan mengunjungi Curug tersebut. Tapi entah kenapa, minggu siang kemarin cuaca sangat bersahabat sekali, walau awan mendung berada di arah selatan gunung Salak. Bahkan Gunung Salak terlihat sangat indah sekali.
Jalan kecil yang menanjak menjadi tantangan sendiri buat saya, apabila kalian membawa mobil – saya sarankan agar membawa 4 wheel drive dan jangan lupa dicek remnya. Jalan yang dituju tidak terlalu lebar, lebarnya hanya 3,5m tapi beraspal cukup baik. Udara dingin segera menyambut saya karena ternyata lokasi yang dituju berada di perut Gunung Salak. Betapa senangnya saya karena disepanjang perjalanan saya bisa menghirup udara segar tanpa polusi dan terkadang saya mencium aroma kayu bakar. Sudah lama saya merindukan aroma kayu bakar, hal tersebut mengingatkan saya semasa berkunjung ke rumah almarhum nenek di Tulungagung. Almarhum selalu memakai kompor kayu bakar, walau sudah dibelikan kompor minyak oleh mama saya.
Kiri dan kanan jalan hanya keindahan alam tropis yang tiada terkira. Sawah yang menguning, beberapa orang sedang sibuk membajak sawah, rerimbunan pohon bambu, sementara dibelakangnya hutan lebat milik Sang Prabu Siliwangi di halaman rumahnya, Gunung Salak Permai. Hampir 30 menit berlalu, tapi saya masih belum menemukan tanda ke arah Curug. Saya jadi curiga apabila saya tersesat. Ternyata diujung sebuah pertigaan, terdapat sebuah papan penunjuk arah dari kayu yang dicat warna hijau dengan cat yang sudah mengelupas sebagian dan tertulis,”Curug Cigamea, Gunung Bundar, Curug Ciampea, Curug Ciherang, Kawah Ratu”.
Saya ikuti saja petunjuk tersebut dan tidak berapa lama kemudian tibalah saya di pintu gerbang bertuliskan,”Selamat Datang, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Bogor”. Huh....tulisan tersebut semakin membingungkan saya, karena saya tidak hendak ke arah Gunung Halimun, tujuan utama saya adalah Curug Cigamea di Bogor. Ternyata setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 5000 saja (Rp 3000 untuk asuransi/org dan Rp 2000 untuk retribusi motor). Damned....it’s so cheap!! Pantesan saja tidak dikelola secara profesional, jangankan brosur yang memuat peta wisata. Bahkan di situs internet, informasi yang saya dapatkan sangat minim sekali. Inilah kehebatan Pemda Bogor dalam mengelola tempat wisata yang indah dan kehebatan Menteri Pariwisata Indonesia dalam membuat event internasional “Visit Indonesia year 2008”. Pelanduk didepan mata saja tidak keliahatan, sementara gajah disebrang lautan terlihat begitu bersinar. What a shame!!!
Jejeran pohon pinus menyambut saya...senangnya hati saya waktu itu. Selekasnya saya membuka helm pengaman, agar membiarkan setiap helai rambut di kepala dan otak saya menikmati keindahan alam dan kesejukan udara pegunungan. I was so speechless and act like a kid on the cycle. Sebelah kanan jalan terdapat papan pengumuman rute menuju ke Curug Ciampea yang hanya berjarak 200 m. Tapi saya meneruskan perjalanan hingga saya menemukan Curug Cigamea. Dijalan kecil tersebut, saya melihat seorang anak kecil melintas sambil membawa barang dagangan. Saya iba melihatnya, saya membalikkan motor dan membeli sebuah minuman soda sebagai penolak dahaga. Hm....masih sangat kecil sekali dan harus berjualan. Yang parah ia berjalan kaki dari tempat yang saya tidak tahu darimana ia berjualan.
Tak berapa lama, saya menemukan sebuah Curug yang bernama Curug Ciherang. Saya memarkir motor yang dikenakan biaya parkir sebesar Rp 3000/motor. Saya kemudian berjalan kaki menuju curug tersebut. Btw curug means waterfalls in Sundanese. Lokasi wisata tersebut cukup resik, beberapa orang sedang asyik bercengkarama dengan pasangannya dan beberapa keluarga sedang asyik melahap makanan di dalam saung yang disediakan gratis oleh pihak pengelola. Curug Ciherang tidak terlalu besar dan beberapa org sedang asyik mandi dibawah kucuran air terjun Ciherang. Wah senangnya melihat mereka bermain air. Tapi saya masih belum menemukan tempat yang saya impikan.
Hanya 15 menit saya menikmati Curug Ciherang yang ternyata memang disukai oleh keluarga karena ada fasilitas untuk anak-anak dan sebuah sungai kecil yang aman bagi para babies. Disepanjang jalan banyak muda mudi yang sedang asyik pacaran diatas motor sambil menikmati ridangnya pohon pinus. Hm....seru juga..
Wow...ternyata masih ada Curug Ngumpet, tapi saya nggak sempat kesana karena tujuan utama belum didapatkan. Jalan naik turun menguji ketahanan motor dan fisik saya. Dan banyak vila bari dibangun disana. Arghh...semoga pembangunan vila tersebut tidak mengganggu alam. Banyak juga vila yang disewakan. Wah kayaknya bisa dijadikan alternatif penginapan neh selain di puncak. Daripada macet di puncak, menginap di vila sekitar sini pasti nyaman dan terjangkau harganya. Banyak warung makanan di kanan dan kiri jalan, jadi tidak usah takut kuatir apabila lapar melanda pas saat liburan. Vila tersebut sangat cocok untuk tempat kontemplasi, retret dan lain sebagainya. Eh...ada vila pinken lho...semua catnya berwarna pinky!!
Sekitar 2 menit dari Vila Pinky, akhirnya saya menemukan Curug Cigamea. Beberapa motor tampak diparkir berjejer. Setelah memarkir motor, saya masih harus melewati sebuah gerbang kecil dan harus membayar tiket masuk sebesar Rp 2500 saja. (Again...It’s so cheapppp!!) Tangga kecil yang menurun menyambut saya dan Alhamdullillah dari kejauhan sudah tampak sebuah aliran air terjun ditengah rerimbunan pohon. Tapi masih jauh tampaknya, saya masih harus menuruni tangga dan jalan berliku yang sudah sangat rapi, dibeton dan diberi pegangan besi pinggirnya sehingga sangat aman dilewati sejauh kurang lebih 1 km. Hmmm...turunnya gampang neh, pas naiknya....bisa nggak yakh???
Akhirnya dalam waktu 15 menit saya sudah tiba di dua buah air terjun yang besar, Oh My GOD..... it’s twin waterfalls. Banyak pengunjung yang sudah berendam, mandi dibawah pancuran air terjun yang mengalir dengan derasnya dari ketinggian sekitar 15 – 20 meter. Saya sudah tidak tahan lagi untuk melepas baju dan berada dibawah air terjun. Setelah berganti baju, saya segera menuju ke air terjun Curug Cigamea part one. Airnya begitu dingin tapi sangat menyejukkan. Saya cukup lama berada dibawah pancuran air terjun tersebut, jadi ingat sebuah penelitian di Jepang bahwa air terjun mengandung ion negative yang sangat baik sekali bagi tubuh. Ion negative (Chi) adalah atom oksigen dengan elektro esktra yang dapat membuat tubuh anda merasa lebih baik dan ion negative banyak terdapat di pegunungan serta didekat air terjun. Ion negative tersebut sangat baik sekali untuk menetralisir racun dalam tubuh, meningkatkan aliran oksigen dalam otak, memperbaiki sirkulasi darah dan meningkatkan daya tahan tubuh. Sehingga jangan aneh apabila sehabis berada di bawah air terjun dan sekitar air terjun, tubuh merasa sangat segar. Hal itu karena partikel ion negative yang dibawa oleh air terjun bagi manusia dan sekitarnya. Kandungan Ion negative dalam air terjun alami sebesar 25,000 – 100,000 cc. It’s a water theraphy, guys!!!
Nah sekarang saatnya menikmati Curug Cigamea part two...letaknya hanya sekitar 10 meter saja tapi awas jangan sampai terjatuh karena batu pegunungan yang lumayan licin kena air. Dan ada satu hal kekurangan di tempat wisata alam ini, seperti tempat wisata yang lain yaitu tempat sampah dan tempat penitipan tas. Saya harus extra hati-hati karena pergi sendirian jadi harus memposisikan tas ditempat yang terlihat dan terjangkau agar tidak ada tangan-tangan jahil mengambil benda berharga saya. Beruntung ada sepasang muda-mudi yang juga ingin berendam, menyuruh saya agar menaruh tas saya didekat tas mereka. Err....it’s may good karma, I guess.
Saya pun segera menuju ke ujung air terjun dan yang satu ini agak dalam. Sekitar 120cm dalamnya, sehingga kita bisa berenang. Duh sangat nyaman sekali berada di bawah air terjun, I felt free....saya sangat menikmati setiap tetesan air yang menerpa tubuh saya. Airnya cukup dingin dan sangat jernih sekali. Sehingga saya bisa melihat dasarnya...walau dari jauh tampak berwarna hijau toska. Sempat berbicara dengan pasangan tersebut, mereka anak kuliah dari UI Depok...wah...satu almamater donk!! Selama hampir 1 jam saya berada disekitar air terjun Curug Cigamea part two..dan rasanya tidak bosan hingga detik ini saya menulis di blog. Dan doa saya dikabulkan, cuaca sangat cerah, tidak ada hujan walau waktu sudah menunjukkan pukul 16.45 WIB.
15 menit kemudian saya mentas, keluar dari zona into the wild dan berganti baju. Disediakan beberapa kamar mandi untuk bilas dan ganti baju dengan biaya Rp 2000/orang, masih murah khan?? Nah ujian kedua telah tiba, sebelumnya saya membeli sebuah air mineral agar tidak dehidrasi. Tangga demi tangga berhasil saya daki, diujung lembah tampak Curug Cigamea yang sangat indah buat saya. Perjalanan waktu tempuh selama 2 jam dari bekasi dengan motor sudah terbayarkan. I left it with a smile....and I promise I WILL BE BACK!!!!
Pukul 17.30 saya meninggalkan lokasi Curug Cigamea, the hidden paradise for me dan saya sudah berhasil menaklukan rasa penasaran saya. Tapi saya masih punya 3 Curug lagi di kawasan yang sama yang masih belum di sentuh. Perjalanan pulang diantara rerimbunan pinus dan hari yang hampir gelap...saya menemukan segerombolan anak-anak kecil penjaja makanan dan rokok. Iba rasanya...seandainya saya membawa mobil, saya ingin mengajak mereka bareng...sampai tempat yang mereka ingin tuju. Karena kasihan jaraknya cukup jauh dengan jalan kaki.
Perjalanan kali ini sangat menyenangkan....semua tercapai dan hasilnya sungguh diluar dugaan. Begitu keluar dari pintu gerbang kawasan wisata taman nasional gunung Halimun....hujan mulai turun rintik-rintik. Sepertinya Tuhan mengabulkan doa saya tadi, hujan tidak lama berhenti. Dan ternyata dikota Bogor hujan deras baru saja mengguyur, karena terlihat dari jalanan yang sangat basah. Dan sepertinya ini waktunya untuk menikmati wisata kuliner di Bogor.
Opps...didepan kampus IPB Darmaga Bogor terdapat sebuah warung kecil dipinggir jalan bertuliskan “Nasi Kucing Solo”. Saya masih menimbang-nimbang, apakah saya harus mencobanya?? Dan akhirnya saya berhenti, membalikkan motor dan menuju ke warung nasi kucing solo tersebut. Nasi Kucing mengingatkan saya semasa masa kuliah di kawasan Babarsari, Yogyakarta pada tahun 1995. Menu nasi kucing sangat minim, sebuah nasi bungkus sebesar kepalan tangan orang dewasa yang berisi sayur bening dan orek tempe/tahu/telur dadar dengan harga Rp 500/bungkusnya dan sangat cocok sekali sekali buat kantung mahasiswa seperti saya ditahun 1995an. Saat ini nasi kucing solo yang saya tuju sudah seharga Rp 1500/bungkus dengan menu sayur + telur/tongkol, masih murah khan??? Saya memesan sebuah nasi kucing isi telur kemudian saya tambahkan tempe dan rempela ati serta segelas wedang jahe untuk penghangat badan. Sambil makan saya mengajak ngobrol si penjual yang ternyata berasal dari Boyolali, Jawa Tengah. Sebut saja namanya Mas Hek dan ia baru 3 bulan buka warung tersebut, sebelumnya ia menjadi supir dan penjaga fotokopi didekat kampus IPB. Ia juga yang memasak makanan tersebut dan ternyata ia seorang anak yatim piatu. Obrolan kami sore itu cukup menarik, saya menyarankan agar ia mengubah konsep warung kaki limanya menjadi warung lesehan. Dan ia juga bercerita bahwa warungnya ramai oleh anak kuliahan kalau malam, cuma sayang malam itu adalah masih liburan bagi anak kuliahan. Tapi ia masih bersyukur karena masih cukup ramai pembelinya. Wedang jahenya cukup enak dan membuat badan saya hangat. Mas Hek sangatlah ramah dan saya cukup berkesan dengannya. And it’s time for me to go home. Setelah berpamitan, saya pulang. Mak Hek kembali melayani seorang pelanggannya, seorang mahasiswi.
It’s a lovely journey....I met alot of things and they were so nice to me. God has given me a gift, so I could get a multi package of joy....an amazing nature, a nice couple and a nice evening conversation. I promise I wil be back and eat nasi kucing solo, sambil menikmati alunan musik dari KLA Project – Yogyakarta........Ciao, Bella!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H