“We can't choose where we come from, but we can choose where we go from there.”
Siapa sih yang bisa lupa dengan salah satu penggalan dialog dari film “The Perks of Being a Wallflower” yang tayang ditahun 2012 lalu? Memiliki arti yang mungkin cukup dalam bagi kita yang pernah mengalami hal yang sama seperti tokoh dalam film tersebut.
Kali ini kita bukan hanya mengulik tentang film “The Perks of Being a Wallflower” (2012) saja tapi ada film “27 Steps of May” (2018) juga nih. Penasaran? Yuk simak bahasan selanjutnya.
Film “The Perks of Being a Wallflower” merupakan film Hollywood yang diangkat dari novel best-seller yang berjudul sama dan disutradarai oleh Stephen Chbosky. Selain sutradara yang mumpuni, film ini diperankan oleh Logan Lerman, Emma Watson, dan Ezra Miller. Pada tahun 2012, film ini menerima penghargaan dalam Independent Spirit Award for Best First Feature.
Sedangkan film “27 Steps of May” merupakan garapan dari seorang Ravi Bharwani. Didukung oleh para pemain yang mumpuni seperti Raihaanun, Lukman Sardi, hingga Ario Bayu.
Berhasil memenangkan penghargaan dalam kategori film panjang Asia terbaik di Jogja-NETPAC Asian Film Festival dan juga tayang di beberapa negara seperti Korea (Busan International Film Festival 2018), Afrika Selatan (Cape Town Film Festival), dan Swedia (Goteborg Film Festival).
Isu Komunikasi
Mengangkat isu mengenai seseorang yang memiliki gangguan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), kedua film ini mampu menyampaikannya melalui tokoh Charlie dalam film “The Perks of Being a Wallflower” dan May dalam film “27 Steps of May”.
Menurut Kaplan (dalam Wardhani dan Lestari, 2007) gangguan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih yang muncul ketika stress fisik maupun emosi telah melampaui batas ketahanan.
Latar belakang tokoh Charlie dalam film “The Perks of Being a Wallflower” pernah dilecehkan secara seksual dan ditinggal bunuh diri oleh satu-satunya sahabat yang ia miliki. Kedua hal ini menjadikan Charlie yang penyendiri atau “wallflower”, ketakutan saat masuk ke SMA pertama kalinya karena ia tidak memiliki teman sama sekali.
Kejadian di masa lampau yang dialami oleh masing-masing tokoh membuat keduanya mengurung diri dari lingkungan sosial. Masing-masing tokoh juga akan mengalami ketakutan dan histeris yang berlebihan karena mendapat “rangsangan” yang mereka rasa sama seperti kejadian di masa lampau atau dengan kata lain triggered.
Film sebagai Komunikasi Massa
Film telah menjadi bagian dari media komunikasi massa yang sering digunakan untuk berbagai tujuan. Cerita-cerita yang diangkat menjadi film biasanya mengangkat cerita yang dekat dan ada dalam kehidupan sosial masyarakat.
Film digunakan oleh masyarakat untuk kabur dari realitas yang membosankan ke dunia yang “mewah”, keinginan yang kuat untuk terjebak di dalamnya, pencarian tokoh idola dan pahlawan, keinginan untuk mengisi waktu luang dengan aman, murah, dan dengan bersosialisasi (McQuail, 2011, h.25).
Hal di atas sesuai dengan fungsi media komunikasi menurut Burgon & Huffner (dalam Alfiyatun, 2019, h.19-20) yaitu menghibur/ entertaint / joyfull. Selain menjadi hiburan, film tentu menjadi salah satu media yang mendidik atau mengarahkan penonton atau masyarakat.
Dalam hal ini, film “The Perks of Being a Wallflower” dan film “27 Steps of May” memberikan informasi dan pelajaran mengenai gangguan mental seperti PTSD atau Post-Traumatic Stress Disorder.
Teori Psikoanalisis (Sigmund Freud)
Teori psikoanalisis merupakan teori yang ingin menjelaskan lebih lanjut mengenai hakikat perkembangan kepribadian yang dimiliki oleh manusia (Syawal dan Helaluddin, 2018, h.1). Dalam hal ini yang menjadi unsur utama seperti motivasi, emosi, dan aspek internal dalam tubuh manusia.
Freud (dalam Syawal dan Helaluddin, 2018, h.4) mengungkapkan bahwa terdapat tiga tingkat kesadaran dalam jiwa, yaitu conscious (sadar), preconscious (prasadar), dan unconscious (tak sadar). Dalam ketiga tingakatan kesadaran jiwa terdapat Id, Ego, dan Superego.
- Id : Merupakan bagian dari unconscious self. Id berbicara mengenai insting dalam bertahan hidup atau mencari kepuasan.
- Ego : Bagian dari conscious self. Merupakan bagian yang berperan atau berhubungan langsung dengan dunia luar.
- Superego : Merupakan monitor yang akan mengawasi bagaimana rangsangan yang terjadi dalam diri atau penentu dalam baik dan benar dalam diri.
Analisis Wacana
Analisis wacana atau discourse analysis merupakan cara yang digunakan untuk menemukan makna atau pesan dari komunikasi yang terdapat dalam suatu teks baik secara tekstual maupun kontekstual (Kamelia, 2019, h.20).
Film “27 Steps of May” menurut sang penulis naskah, Rayya, cerita ini terinspirasi dari peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998. Tidak ingin melibatkan aroma politis, film ini akhirnya dibalut dengan hubungan ayah dan anak.
Mengurung Diri
Dapat dilihat dari kedua tokoh dalam film “The Perks of Being a Wallflower” dan film “27 Steps of May” yang membatasi diri mereka dengan kegiatan di luar atau melibatkan banyak orang. Ini dapat dikatakan sebagai bagian dari “Ego” mereka.
Charlie yang menghabiskan waktunya di rumah rehabilitasi gangguan kejiwaan menganggap bahwa ia tidak layak untuk berteman dengan siapapun. Ia hanya berbicara dengan keluarga intinya selama musim panas dan juga menulis buku harian.
Kambuhnya Gangguan PTSD
Selama berjalannya waktu, kedua tokoh dalam film diceritakan mengalami rangsangan yang membuat gangguan PTSD mereka kambuh. Ini dapat masuk dalam kategori “Id”, di mana jiwa mereka mencari cara dalam bertahan hidup.
Charlie yang masih terbayang akan masa lalunya, ia akan merasa gugup dan gemetar seluruh tubuh. Selain itu, ia juga mulai berpikiran ke arah suicidal karena terbayang akan kejadian di masa lalu.
Bebas dari PTSD
Bagian terakhir berbicara mengenai “Superego” atau bagaimana menentukan hal yang baik dan buruk. Hal ini bisa dilihat dari akhir film yang bahagia untuk masing-masing tokoh.
Tokoh Charlie yang sempat masuk ke rumah sakit jiwa lagi namun sudah dinilai sembuh oleh Dokter yang selama ini menanganinya. Juga Charlie yang sudah bisa membuka dirinya kepada orang lain selain keluarga, yaitu teman-teman geng “Wallflower”.
Akhir bahagia juga ada di pihak May, ia pelan-pelan mulai merasakan perubahan yang lebih baik. Dibantu oleh pesulap yang ada di ruangan lain dan hanya bisa dilihat dari lubang di tembok kamar May. Setelah 8 tahun, May akhirnya bisa keluar dan berjalan-jalan keluar rumah dengan senyum tinggal di wajahnya.
Alfiyatun, D. (2019). Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) Sebagai Media Komunikasi dalam Membangun Citra Jogja di Kancah Perfilman Asia Tahun 2018 (Doctoral dissertation, Universitas Mercu Buana Yogyakarta).
Kamelia, N. (2019). Analisis Wacana Pesan Moral Dalam Novel “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur” Karya Muhidin M. Dahlan. (Doctoral dissertation, UIN Raden Fatah Palembang).
Syawal, H., & Helaluddin, H. (2018). Psikoanalisis Sigmund Freud dan Implikasinya dalam Pendidikan.
McQuail, D. (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika.
Wardhani, Y. F., & Lestari, W. (2007). Gangguan Stres Pasca Trauma Pada Korban Pelecehan Seksual Dan Perkosaan. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistim Dan Kebijakan Kesehatan: Surabaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI