Mohon tunggu...
Katarina Silalahi
Katarina Silalahi Mohon Tunggu... -

Fiat Voluntas Tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sahabat? Benarkah Dia Ada?

24 Januari 2016   15:50 Diperbarui: 24 Januari 2016   16:30 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku pernah membaca sebuah artikel mengenai sahabat, kira-kira beginilah inti dari artikel tersebut “apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah”. Artikel lain yang kubaca juga memberi makna seperti ini ”persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya”. Jika dikaitkan dengan kehidupanku saat ini, penglihatanku masih kabur bila ditanya apakah sahabat itu benar-benar ada? Mengapa aku mengatakannya masih kabur? Karena sesungguhnya rasa trauma di masa lalu yang membuatku menjauh dari kata “persahabatan”. Mungkin ini terkesan berlebihan atau istilahnya sekarang “lebay” bagi sebagian orang, tetapi yang jelas memang itu yang kualami dahulunya.

Berangkat dari masa lalu, banyak orang mengatakan kita harus melawan rasa trauma itu. Jika semakin dipelihara, dia akan semakin berkembang padahal sebenarnya kita mampu melawannya. Singkat cerita, setahun ini aku belajar banyak mengenai kehidupan di kota yang terkenal dengan ungkapan “Medan keras bah”. Termasuk salah satunya juga mengenai sahabat. Aku sedikit lupa awal pertemanan kami, yang jelas kami berasal dari kota dan universitas yang sama. Bahkan tujuan kami merantau ke kota ini juga sama. Satu hal yang kuingat dari awal pertemanan kami yaitu “kopi”. Kami sama-sama menyukai kopi. Mengapa? Aku pun tak tahu. Sudah selayaknya aku harus berterimakasih kepada kopi yang sudah menyatukan kami. Banyak hal yang kami dapat dari kopi, di antaranya “rasa pahit pun dapat dinikmati”. Tidak selamanya rasa pahit juga membawa kepahitan, buktinya rasa pahit dari sebuah kopi telah mampu menyatukan kami.

Beranjak dari rasa kopi, aku ingin bercerita lebih dalam mengenai diri kami. Masalah sepertinya sudah menjadi sarapan kami. Bukan mengenai siapa yang salah dan siapa yang benar, aku mendapat sebuah pembelajaran dari mereka mengenai arti kata “mengalah”. Harus kuakui bahwa mereka selalu mengalah dibanding aku, karena jika api bertemu minyak maka akan semakin besarlah api itu. Tetapi mereka sebagai air yang bisa memadamkan api. Rasa ego yang besar seringkali menjadi sumber permasalahan di antara kami, termasuk permasalahan saat ini. Singkat cerita, seperti ini:

Bukan maksudku untuk lari dari permasalahan, bukan niatku untuk membuat jarak. Ada hal yang harus mereka ketahui, yaitu rasa sakit yang tak terbendung. Aku hanya butuh waktu untuk seorang diri saja, tanpa siapapun. Salahkah itu? Percayalah semuanya akan kembali seperti semula, ini hanya masalah waktu. Ingin aku berbagi pada mereka, tetapi lagi-lagi sakit itu belum mampu kuhilangkan. Aku tahu mereka juga merasakan hal yang sama, tetapi kondisi kita sekarang berbeda. Aku merasa sakit karena kebodohanku, tetapi mereka sakit karena ulahku. Intinya aku hanya butuh waktu untuk seorang diri, aku akan kembali jika semuanya sudah pulih. Tetaplah menjadi orang yang dulu kukenal, tetaplah menjadi penyemangatku. Jika memang kekecewaan itu sudah mencapai tingkat akhir, aku akan belajar untuk menerima. Jika memang kata maaf itu tak berarti apa-apa lagi, aku pun akan menerima. Sudah saatnya mereka berbahagia sekarang. Semoga kelak kita dipertemukan di gerbang kesuksesan kita masing-masing teman. Terimakasih untuk semua pengorbanannya, aku bangga karena pernah berjuang bersama-sama. Aku belajar banyak dari mereka, dan dari mereka juga keyakinan bahwa sahabat itu memang benar-benar nyata.

 

 

Salam,

Medan, 24 Januari 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun