Perkembangan jurnalisme semakin berkembang dari masa ke masa, dari yang hanya berupa media cetak hingga kini menjadi jurnalisme multimedia yang merupakan kombinasi dari elemen audio, gambar atau foto, teks, dan interaktivitas dalam jurnalisme online yang terdiri dari situs berita, atau penyedia berita online yang biasanya disebut sebagai wire services.
Jawa Pos menjadi salah satu media yang mengikuti perkembangan zaman.
Pada 1 Juli 1949, Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen, staf marketing film teater di Surabaya. Pada awalnya Jawa Pos Bernama Java Pos (1949-1954) yang kemudian berganti menjadi Djawa Post (1954-1957), kemudian berganti menjadi Djawa Pos (1957-1960) dan akhirnya berganti menjadi Jawa Pos hingga saat ini.
Saat itu koran masih mengalami naik turun. Penurunan dimulai pada akhir tahun 1970, dan pada 1982, Jawa Pos hanya mencetak 6.000 eksemplar per hari, dengan pelanggan di Surabaya yang hanya 2000 orang dan peredaran di Malang tersisa 350 lembar.
Pada 1 April 1982, akhirnya Jawa Pos dijual ke PT. Grafiti Pers, yang juga merupakan penerbit majalah Tempo. Eric Samola, presiden direktur PT. Grafiti Pers saat itu memilih Dahlan Iskan yang saat itu menjadi kepala kantor redaksi Tempo di Jawa Timur untuk bertanggung jawab atas Jawa Pos.
Di bawah pimpinan Dahlan Iskan, Jawa Pos tumbuh pesat. Dalam waktu sepuluh tahun Jawa Pos meningkat menjadi surat kabar dengan yang mencetak lebih dari 100.000 eksemplar.
Di awal tahun 1990an, dibentuk Jawa Pos News Network (JPNN) sebagai wadah jaringan anak perusahaan JP yang mulai menyebar di berbagai daerah.
Satu dekade berikutnya, Jawa Pos menjadi salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia yang memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia.
Di tahun 1997, Jawa Pos pindah ke gedung baru di gedung Graha Pena, yang merupakan salah satu gedung pencakar langit di Surabaya. Di tengah krisis yang melanda Indonesia, gedung ini selesai dibangun. Hal tersebut sebagai tanda kesuksesan Jawa Pos melawan krisis.