Keserentakan itu menurut pandangan hukum MK dinilai sebagai upaya penguatan sistem pemerintahan presidensiil.
Logika Hakim MK Saldi Isra saat itu ialah meserentakan pemilihan umum untuk pemilihan anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dan upaya penguatan sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam Putusannya saat itu, MK mengungkap ada enam model pemilu serentak yang dinilai konstitusional, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan pemilihan anggota DPRD.
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati/walikota.
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/walikota.
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih abggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kab/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/walikota.
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih abggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi, gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih dprd Kab/kota dan memilih bupati/walikota.
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden.
Yang jelas, disain Pilkada yang ideal adalah menekan ongkos operasional. Semangat awal keserentakan adalah efisiensi, menghindari pemborosan anggaran.
Selain itu, cita-cita penguatan sistem Pemerintahan Presidensial dengan keserentakan Pilkada dan Pileg serta Pilpres, akan memuluskan jalan menuju ke sana.Â