Namun disain awal itu tak jadi dicantumkan saat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada disahkan. Dalam Pasal 201 UU tersebut hanya mengatur rangkaian pilkada hingga 2020.
Lalu UU No.1 Tahun 2015 itu direvisi setahun setelahnya. Baru di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur pilkada serentak digelar 2024 dengan sejumlah tahapan.
Menurut Pasal 201 UU 10/2016: Pilkada serentak digelar pada 2015, 2017, dan 2018. Lalu daerah yang ikut dalam pilkada 2015 akan ikut dalam pilkada 2020. Kepala daerah terpilih hanya akan menjabat sampai 2024. Sementara pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan.
Sesuai klausul dalam UU No.10 Tahun 2016, daerah-daerah yang tidak menggelar Pilkada tersebut akan dipimpin oleh penjabat (Pj) yang ditunjuk pemerintah hingga terpilih kepala daerah baru. Lalu pada November 2024, seluruh daerah mengikuti pilkada serentak. Itulah semangat awal keserentakan Pilkada secara nasional.
Pada perjalanannya, rencana dalam UU 10/2016 kembali dipertanyakan. Inisiatif DPR di awal tahun 2021 menyebutnya dengan istilah normalisasi Pilkada. Revisi UU Pemilu No.7 Tahun 2017 yang mencakup UU Paket Politik itu dianggap perlu direvisi, mengingat ada insiden kematian ratusan petugas penyelenggara dalam Pemilu 2019.
Sejumlah LSM seperti Perludem dan Kode Inisiatif vokal menentang keserentakan Pilkada di tahun 2024. Mereka menyarankan agar pilkada serentak tak digelar 2024. Musababnya, di tahun 2024 juga akan digelar Pilpres dan Pileg. Sama seperti Pemilu 2019 yang sampai mencoblos 5 Surat Suara. Ketakutan sejumlah LSM Pegiat Pemilu: beban kerja petugas akan jauh lebih berat jika diserentakkan juga dengan Pilkada.
Sebenarnya, sudah sejak tahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi tentang keserentakan pemilu yang diatur dalam Pasal 167 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Adalah Perludem yang mengajukan gugatan tersebut. MK menolak gugatan Perludem yang hendak menjadikan pemilihan umum dibagi menjadi dua, yaitu pemilu nasional untuk memilih presiden, DPR dan DPD, serta pemilu lokal untuk memilih DPRD provinsi/kabupaten/kota, dan kepala daerah.
Hakim Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020) dengan tegas memutuskan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.
MK menolaknya karena mereka merasa tidak punya kewenangan untuk menentukan model keserentakan pemilu.
Oleh karenanya, gugatan itu dianggap tidak beralasan sesuai hukum. Meski begitu, MK menegaskan, keserentakan pemilu bisa ditafsirkan sebagai pemilihan umum untuk memilih anggota perwakilan rakyat di tingkat pusat, yaitu presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD.