Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada Serentak 2020 dan Problem Akut Demokrasi

2 November 2020   12:56 Diperbarui: 2 November 2020   13:09 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan politik ada berbagai pilihan sistem. Salah satu dari pilihan itu adalah demokrasi. 

Demokrasi merupakan pilihan Indonesia sebagai negara Republik sejak proklamasi kemerdekaan 75 tahun silam. 

Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat termasuk di media massa atau media sosial (medsos) tetapi kebasan tersebut haruslah disertai dengan tanggung jawab. Sedangkan pemilu adalah konsekuensi logis dari demokrasi.

Demokrasi dari zaman ke zaman tentu akan menemukan problemnya yang berbeda. Berkat akselerasi teknologi informasi yang sangat canggih dengan penggunaan media sosial sebagai platform komunikasi digitalnya, manusia menyebut dunia seperti global village (perkampungan global) dengan tiga kata kunci; konektivitas, keterhubungan dan kecepatan. 

Dampaknya terhadap kehidupan demokrasi adalah mudah tersebarnya hoaks atau fakenews (kabar bohong) atas nama kebebasan. 

Karena itulah kita saat ini masuk ke era pasca-kebenaran (post-truth) yang menurut Kamus Oxford post-truth dapat didefnisikan sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Disinilah kualitas demokrasi jadi taruhan.

Masyarakat Telematika Indonesia menegaskan bahwa hoaks dan politik berjalan berkelindan. Dalam hasil survenya tahun 2017 melaporkan bahwa 91 persen responden sering mendengarkan informasi hoaks terkait isu sosial-politik dan 82 persen responden mendapatkan berita yang memuat SARA. Artinya hoaks sangat membahayakan kehidupan sosial-politik Indonesia.

Berdasarkan laporan kemenkominfo sejak Agustus 2018 - 31 Maret 2020 hoaks mencapai 5.156. Kategori politik menempati terbanyak pertama dengan total 1.025 hoaks, kategori pemerintahan menempati terbanyak kedua sebanyak 922 hoaks, sedangkan kesehatan menempati urutan terbanyak ketiga dengan jumlah 853 hoaks.

Mudahnya akses informasi dan adanya berbagai flatform media sosial (medsos) membuat hoaks dari tahun ke tahun tetap diproduksi oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab sesuai dengan kepentingannya. Pada bulan diselenggarakannya pilpres yaitu April 2019, hoaks mencapai 501 hoaks dan jumlah tersebut merupakan jumlah terbanyak dibanding bulan lainnya (Agustus 2018 - Maret 2020).

Secara berturut-turut Januari hingga puncak hoaks April 2019 mengalami peningkatan. Pada bulan Januari 2019 hoaks berjumlah 175 hoaks, 353 hoaks pada Februari, 2019, 453 hoaks pada Maret, 2019 dan 501 hoaks pada April, 2019. 

Kemudian jumlah hoaks pada bulan berikutnya melandai. Prediksi penulis, pola menjamurnya hoaks pada pilkada serentak Desember 2020 sama seperti pola merebaknya hoaks pada pilpres 2019 dengan puncak penyebaran hoaks akan terjadi pada bulan Desember 2020. Komisioner KPU, Viryan Aziz khawatir bahwa hoaks akan mewarnai pilkada serentak 2020 dengan potensi konflik horizontal yang besar seperti yang dilansir detik.com, 20 Agustus 2019.

Hoaks perlu diwaspadai karena hoaks bukan hanya menyebarkan berita bohong belaka. Hoaks dijadikan pembentukan opini publik dengan judul yang bombastis, bahkan menjadi alat propaganda dan provokasi dalam strategi kampanye untuk menjatuhkan lawan politiknya. Ini yang akan berpotensi memicu perpecahan dan konflik horizontal. 

Hoaks sangat mudah tersebar apabila disebarkan oleh influencer (pempengaruh) dan buzzer (pendengung/tentara siber). 

Bagi mereka yang memiliki nalar kritis tentu bisa menilai sebuah informasi yang diterimanya. Namun, bagi mereka yang awam, hoaks gampang dipercaya karena kurangnya informasi yang berdasarkan fakta serta kondisi emosi yang berlebihan hingga mengabaikan rasio.

Buzzer yang menyebarkan hoaks lebih banyak daripada penggerak anti-hoaks. Kenapa? Karena menjadi buzzer layaknya sebuah pekerjaan profesional. 

Salah seorang teman saya di Jakarta dengan bangga mengaku bekerja sebagai tim buzzer untuk salah satu pasangan calon sebuah provinsi di daerah pada Pilkada serentak 2018 silam, ia digaji dengan bayaran yang cukup untuk biaya hidup di Jakarta. 

Tim buzzer tersebut menggunakan facebook, ia sendiri memegang sampai sepuluh akun anomim, masuk ke berbagai grup, ia dengan luwes berganti kepribadian dari satu akun ke akun lainnya dan tak segan-segan menyebarkan hoaks. Jadi, banyaknya hoaks merupakan pesanan salah satu tim pasangan calon dan itu menjadi lahan bisnis.

Upaya melawan hoaks pun digalakan. Mulai dari instansi pemerintah seperti direktorat siber Polri, KPU menyediakan klarifikasi terhadap hoaks dan e-pelaporan Kemenkominfo hingga portal media turut menyediakan kanal anti-hoaks. 

Upaya itu patut diapresiasi dan dimaksimalkan dengan baik. Namun, itu tak ubahnya seperti memotong ranting bukan mencabut pohon sampai ke akar-akarnya. 

Artinya, upaya tersebut hanya menyampaikan sebuah informasi yang ternyata hoaks dan polisi menangkap penyebarnya, tetapi ada potensi untuk tumbuh kembali merebaknya hoaks karena ada orang dibalik layar penebar hoaks.

Kampanye anti-hoaks saja tidak cukup. Perlu gerakan yang kongkrit untuk mengonter hoaks dengan cara yang benar, baik dan tepat sasaran. Pertama, edukasi literasi digital. 

Peran aktif pemerintah, tokoh masyarakat, agama, komunitas dan organisasi sangat dibutuhkan untuk pendidikan literasi digital secara sitematis dan berkesinambungan terhadap seluruh elemen masyatakat.

Kedua, tindakan hukum. Selama ini tindakan hukum yang tegas hanya mengarah kepada para penyebar hoaks tetapi tidak kepada pemesan (para elit) yang memesan isu hoaks dan buzzer, sebagaimana sudah saya bahas di atas.

Ketiga, cermat, teliti dan hati-hati. Cermati situs atau website, teliti kebenaran fakta dan foto/gambar pada sumber yang asli, berhati-hatilah membaca berita yang berjudul bombastis apalagi bermuatan provokatif serta jangan asal share informasi atau berita yang didapatkan.

Keempat, nalar kritis. Nalar kritis harus tetap menyala dalam membaca informasi atau berita dari berbagai media. Artinya, rasio kita jangan sampai terbawa arus informasi atau berita hingga yang tersisa hanya emosi.

Selama manusia berpikiran waras, tentu ada metode kampanye digital yang baik dan benar untuk mempengaruhi pemilih saat kampanye. 

Artinya, jalan tersebut bukan jalan pintas dengan cara menebar hoaks yang bermuatan kebohongan, kebencian dan fitnah terhadap lawan politiknya. 

Misalnya, dengan sentuhan kreatifitas, membuat konten video atau musik yang mengajak masyarakat memilih pasangan calon tertentu dengan menunjukkan prestasi, reputasi, pengalaman, visi, misi, menghindari SARA dan alasan rasional lainnya agar masyarakat terlatih nalarnya dalam berdemokrasi serta mengajak masyarakat agar jangan golput. 

Kampanye digital seperti itulah juga menjadi solusi kampanye di masa adaptasi kebiasaan baru untuk menghindari kerumunan massa.

Terakhir, Penulis ingin mengajak kita semua untuk berkontribusi kepada bangsa dan negara dengan mensukseskan Pilkada Serentak 2020.

Mengingat Pilkada adalah momentum kita sebagai sebuah bangsa untuk bangkit, gotong royong dengan solidaritas persaudaraan yang tinggi untuk melawan Covid-19 dan dampak sosial ekonominya.

Jika Pilkada sukses, sehat, demokratis dan aman Covid-19, tentu saja bangsa kita akan rebound menekan angka penyebaran Covid-19 dan ekonomi segerah pulih.

Mengingat Pilkada diikuti 270 daerah yang mencakup partisipasi sekitar 105 juta pemilih atau hampir setengah penduduk Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun