Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fenomena Paslon Tunggal yang Meningkat

1 November 2020   08:39 Diperbarui: 1 November 2020   08:45 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Kompas.com

Fenomena kotak kosong masih terjadi di Pilkada Serentak 2020. Saat pendaftaran ke KPU, awalnya tercatat ada 28 Paslon tunggal yang berhadapan dengan kotak kosong, akhirnya ditetapkan menjadi 25 Paslon saja.

Kemunculan calon tunggal ini bermula dari pilkada 2015. Saat itu ada tujuh daerah dengan bapaslon tunggal. Tetapi, setelah KPU memperpanjang pendaftaran, akhirnya tersisa tiga daerah dengan paslon tunggal yaitu Kab. Timor Tengah Utara (NTT), Kab. Blitar (Jawa Timur) dan Kab. Tasikmalaya (Jawa Barat).

Tren munculnya paslon tunggal terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Pada pilkada 2017 paslon tunggal meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 2015 yaitu berjumlah 9 paslon tunggal. 

Selanjutnya, pada pilkada 2018 paslon tunggal naik 77 persen menjadi 16 paslon tunggal. Pada pilkada serentak 9 Desember 2020 kali ini tidak menunjukkan penurunan, melainkan peningkatan meskipun tidak sesignifikan pilkada 2018 yaitu 75 persen atau 28 paslon tunggal. Sebaran 28 paslon tunggal tersebut berkontestasi di 23 kabupaten dan lima wilayah kota.

Ada lima faktor yang mempengaruhi munculnya paslon tunggal tersebut. Pertama, Petahana dan parpol. Dua pihak ini adalah pihak-pihak yang saling berkepentingan. 

Pihak petahana ingin melanggengkan kekuasaannya. Sedangkan parpol-parpol berkepentingan ingin berada di gerbong pemenang dengan cara mendompleng petahana. 

Sebagian besar paslon tunggal lahir karena dua modal utama, yakni petahana dan koalisi gemuk parpol. Petahana memiliki modal sosial yang begitu besar serta popuralitas dan elektabilitas yang sudah tidak diragukan lagi. 

Kondisi itulah yang menjadikan petahana memiliki peluang besar untuk memenangi kontestasi pilkada sehingga partai-partai secara pragmatis melimpahkan dukungannya.

Kedua, parpol-parpol gagal melakukan kaderisasi dan telah terjadi krisis kepemimpinan di daerah. Sehingga parpol terkesan hanya digunakan pada sifatnya yang pragmatis oleh para elit lokal. 

Parpol tidak merasa malu dengan tampilnya calon tunggal. Rasa malu itu sirna akibat kepentingan pragmatis. Padahal, waktu lima tahun adalah waktu yang cukup untuk mengkader anggota parpol sehingga saat menjelang pemilu parpol bisa mempromosikan dan mengusungnya serta krisis kepemimpinannya pun teratasi.

Ketiga, beratnya persyaratan. Untuk maju sebagai kandidat harus melalui persyaratan yang begitu berat baik melalui parpol atau pun perseorangan/independen. 

Persyaratan ambang batas parlemen menyulitkan kandidat yang ingin maju leawat jalur parpol yaitu harus mencapai minimal 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari jumlah perolehan suara sah saat pileg di daerah yang bersangkutan dan yang ingin maju secara independen/perseorang harus mengumpulkan KTP sejumlah 6,5%-10% dari total penduduk baik tingkat kabupaten, kota maupun provinsi. 

Pada akhirnya yang bisa memenuhi persyaratan itu hanya mereka yang memiliki dana besar.

Keempat, pragmatisme parpol. Banyaknya calon tunggal diberbagai daerah ini sudah diprediksi oleh sejumlah peneliti beberapa waktu lalu. 

Peneliti lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif M. Ihsan Maulana mengatakan,  fenomena calon tunggal meningkat disebabkan oleh parpol pragmatis ingin menang. Parpol hanya ingin selalu menang dan tak mau kalah. Mengusung calon tunggal yang sudah pasti menang merupakan wujud pragmatisnya. 

Padahal, parpol memiliki cukup waktu untuk melakukan seleksi sebelum pendataran ditutup. Namun, parpol menempuh jalan pintas dengan cara mengusung paslon yang memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi sebagai jagoannya saat pilkada.

Kelima, mahar politik. Mahalnya mahar politik yang diminta oleh pengurus parpol kepada para kandidat yang ingin maju saat pilkada menyebabkan lahirnya paslon tunggal. 

Hal ini mengakibatkan diborongnya parpol-parpol hanya oleh mereka yang berduit.. Sehingga calon pemimpin yang "kere" tapi memiliki kualitas, kapabilitas dan kredibilitas tidak bisa maju sebagai kandidat. 

Singkat kata, money politics (politik uang) tetap langgeng dan menjadi permasalahan demokrasi yang tak kunjung usai. Contoh kasus mahalnya mahar politik pernah terjadi menjelang pilgub Jawa Timur 2018 lalu, mantan Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti blak-blakan mengeluh di khalayak publik karena dimintai mahar politik sejumlah Rp 40 milyar oleh partai Gerindra agar bisa diusung di pilgub Jatim dan banyak contoh kasus lainnya.

Kehadiran Paslon tunggal ini acapkali dimotori politik oligarki. Penguasaan oleh segelintir elit atau oligarki merupakan problematika demokrasi. 

Sejak dulu, oligarki tidak pernah minggat dari perpolitikan Indonesia. Ia selalu muncul dalam setiap momen kontestasi pemilihan calon pemimpin, termasuk pilkada serentak 2020. 

Dalam praktik-praktiknya, oligarki dapat menghilangkan kesetaraan, terutama hak untuk dipilih. Jadi, oligarki sangat bertentangan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). 

Selain itu, oligarki juga akan memunculkan "kerajaan kecil" atau dinasti keluarga di daerah. Politik dinasti keluarga inilah bertentangan dengan esensi moralitas yang mampu menyikirkan prinsip "the rights man on the right place".

Persentase 10,37% atau 28 paslon tunggal dalam pilkada kali ini menunjukkan demokrasi sedang sakit. Melihat pengertian pemilihan kepala daerah (pilkada), yang namanya pemilihan berarti menyodorkan masyarakat kepada bermacam-macam pilihan calon pemimpin daerah atau lebih dari satu paslon. 

Dengan demikian, ketika masyarakat disodorkan paslon tunggal melawan kotak kosong, maka yang terjadi adalah keterpaksaan memilih paslon tunggal yang hampir mutlak menang. 

Kecuali contoh kasus yang terjadi di pilkada Makassar yang dimenangkan kotak kosong, yang didefinisikan oleh sebagian ahli sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap parpol.

Sementara di sisi lain, paslon tunggal yang memenagkan kontestasi pilkada melawan kotak kosong akan menciderai kualitas demokrasi. Kehidupan pemerintahannya akan berjalan searah tanpa oposisi karena semua adalah koalisi. 

Padahal, oposisi berfungsi sebagai pengawasan dan penyeimbangan (check and balance) dalam pemerintahan. Kemungkinan terbesarnya adalah pemerintah akan beroposisi dengan rakyat secara langsung. 

Sedangkan dilihat dari kekuatannya, sudah pasti rakyat akan dikibuli oleh pemeritah. Padahal, salah satu fungsi parpol sebagai jembatan antara rakyat dengan pemerintah. 

Oposisi bukanlah musuh koalisi melainkan partner yang siap memberikan peringatan manakala ada kebijakan dll yang tidak memihak kepada rakyat atau menyalahi undang-undang dan konstitusi, begitupun sebaliknya. Singkat kata, paslon tunggal hanya akan melahirkan kediktatoran bersama terhadap rakyat.

Parpol merupakan pintu gerbang persyaratan pendaftaran bapaslon kepala daerah. Tugas yang mesti dilakukan parpol adalah menyiapkan orang-orang yang akan memimpin di daerah. 

Kalau kita belihat dari banyaknya paslon tunggal dalam pilkada kali ini, berarti fungsi kaderisasi dalam tubuh parpol sendiri tidak berfungsi dengan baik. Maka, parpol pragmatis ingin menang secara instan adalah benar adanya. Sedangkan calon independen/perseorangan terlalu sukar untuk berkontestasi lantaran persyaratan memperoleh dukungan masyarakat terlalu berat.

Untuk menghindari munculnya paslon tunggal: Pertama, syarat pencalonan paslon perseorangan harus dipermudah. Setidaknya dikembalikan pada UU No. 12 tahun 2008 yaitu sejumlah 3% dari jumlah penduduk daerah yang besar dan 6% dari jumlah penduduk daerah yang kecil. 

Kedua, hilangkan aturan mengenai ambang batas parlemen minimal 20% dari anggota DPRD dan 25% dari akumulasi suara sah saat pileg didaerah bersangkutan. 

Ketiga, mengaktifkan (kembali) fungsi kaderisasi yang ada didalam parpol dan mengutamakan kader sendiri untuk maju saat pilkada. Keempat, hilangkan mahar politik. 

Mahar politik yang begitu besar jumlahnya akan mengakibatkan seseorang yang terpilih menjadi pemimpin daerah akan "terpaksa" melakukan tindak pidana korupsi untuk menutupi hutangnya. 

Kelima, revisi UU No.10 tahun 2016. UU tersebut digunakan paslon tunggal sebagai payung hukum. Paslon harus lebih dari satu paslon yakni minimal dua paslon.

Yang jelas, dalam Pilkada di tengah pandemi yang terjadi saat ini selain tetap disiplin menjalani protokol juga harus tetap sesuai dengan kaidah demokrasi. Agar tagline Pilkada Sehat dan demokratis bukan hanya sekadar jargon.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun