Pendaftaran paslon kontestan Pilkada di 270 daerah sudah bergulir, tahapan kampanye praktis menjadi ajang konstestan memverbalkan visi, misi dan program kerjanya untuk memikat nurani masyarakat pemilih.Â
Pada momentum kampanye, janji-janji akan mengiringi tiap kali aksi "jualan diri", atau personal brand dalam keilmuan marketing.
Itu artinya, kesempatan emas bagi kontestan untuk melakukan dua aktivitas sekaligus, yaitu menjual janji dan menyapa sudah masuk "pasar" (tempat orang berjualan).Â
Bahwa setiap kontestan akan menjual produknya kepada pembeli. Tak ketinggalan, black campaign dan white campaign akan meruncingkan stigma pembeli pada penjual, mulai dari makelar, calo, dan preman ikut serta di sekelilingnya.
Nahasnya, dari dua algortima kampanye itu, aktivitas menyapa (ruang publik) tidak mempunyai ruang banyak, sebab masih tingginya korban pandemi covid-19 di indonesia.Â
Tingginya angka yang terjangkit, itu sebagai bukti pandemi ini masih menjadi ancaman serius bagi banyak orang.Â
Sehingga untuk menyepelekannya pun orang perlu berpikir seribu kali. Sebab nyawa taruhannya.Â
Di sinilah, nyawa menjadi alasan pemerintah tetap concern pada kesehatan, meski harus melangsungkan Pilkada di bulan desember nanti-di samping juga gelombang penundaan Pilkada terus menyeruak di sejumlah pihak.
Tapi biarlah, keseriusan pemerintah perlu di apresiasi, begitupun partisipasi masyarakat atas Pilkada 2020 ini butuh kerjasama yang sinergis antar elemen bangsa.Â
Tidak perlu membuat panas situasi, sebab semakin membuat masyarakat ketakutan yang akut, ini akan memperkeruh kondisi sosial.Â
Tentu harapan besarnya, Pilkada menjadi batu loncatan bagi kita, bahwa daya kuat ketaatan masyarakat akan dipertontonkan sampai mana ketangguhannya, secara mentalitas dan interdisipinernya di tengah kondisi yang mengharuskan orang menjaga interaksi sosialnya.