Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada dan Harapan Masyarakat Indonesia

8 Oktober 2020   22:57 Diperbarui: 8 Oktober 2020   23:07 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: lsisi.id

Hiruk Pikuk Ramainya perayaan Pesta Demokrasi di Indonesia yakni PILKADA atau Pemilihan Kepala Daerah kurang dari tiga bulan sejak rulisan ini tayang. 

Pilkada kali ini terasa amat sangat berbeda dari sebelumnya. Mengapa demikian karena pilkada saat ini tengah akan dilaksanakan di dalam Masa Pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum mereda dalam jumlah angka penurunan kasusnya. 

Namun tanpa menghilangkan rasa khidmat yang sesungguhnya Pilkada akan tetap dilaksanakan sebagai optimalisasi pergantian pemimpin daerah yang mana masa jabatannya sudah berakhir.

Tatkala Pilkada dilaksanakan di tengah Pandemi Covid-19 tentu sebetulnya menimbulkan pro dan Kontra di tengah Masyarakat. 

Pantas saja ada sebagian elemen masyarakat yang menolak dilaksanakannya Pilkada di tengah Pandemi, pun tidak sedikit juga elemen masyarakat yang mendukung penuh akan dilaksanakannya pilkada, mengingat sudah banyak pemimpin daerah yang habis masa jabatannya dalam periodesasi hari ini. 

Oleh karena itu diperlukan adanya suatu pemersatu serta pembaharu pemimpin bagi daerah.

Pemilu atau dalam hal ini termasuk juga Pilkada, yakni merupakan suatu produk dari model demokrasi prosedural yang menekankan eksistensi demokrasi pada pengaturan metode berkompetisi untuk menjadi pemimpin politik (Schumpeter, 1976). 

Konsep ini kemudian mendominasi pemikiran tentang demokrasi, sekaligus menyederhanakan bahwa demokrasi adalah hanya terkait  metode, yang kemudian menghasilkan variable baru kajian demokrasi bernama demokrasi elektoral. 

Pemilihan umum dalam hal ini pilkada yang bersifat terbuka, bebas dan berkala, menjadi arena satu-satunya untuk memastikan adanya kesetaraan politik dengan konsepsi "one man, one vote". 

Instrumen demokrasi diarahkan untuk menyiapkan regulasi, lembaga, dan perangkat lainnya untuk dipastikan supaya kesetaraan politik tersebut terwujud. 

Selain itu, sebagai alat untuk memberikan legitimasi, instrumen demokrasi ini juga diarahkan sebagai penciptaan kebebasan dan pengakuan hak-hak sipil sebagai dua pilar penting yang menjamin tegaknya mekanisme perwakilan yang akan mewujudkan aspirasi individu menjadi kebijakan publik. Itu semua berlangsung dengan terbuka dan partisipatif.

Bicara Pilkada, tentu berkaitan dengan Masyarakat, kenapa tidak? Karena jelas berhasil atau tidaknya suatu pelaksanaan Pilkada itu tergantung dari atensi masyarakat di daerah itu sendiri. 

Mengingat Indonesia menganut sistem Demokrasi yang mana setiap warga negara Indonesia berhak memilih dan dipilih selagi tidak menyalahi asas undang undang dasar 1945. 

Oleh karena itu diperlukannya peranan masyarakat dalan menjalankan suatu kontestasinpolitik yakni pilkada serentak. Karena pada akhirnya bagaimanapun Pilkada ini digelar sebagaimana tujuannya adalah oleh, dari,dan untuk masyarakat Indonesia itu sendiri karena yang akan merasakan dampak dari pilkada itu ialah masyarakat Indonesia.

Pilkada serentak sangat diwajibkan untuk diapresiasi karena jelas pilkada ini hadir sebagai upaya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dari pelaksanaan pilkada secara langsung pada masa sebelumnya. 

Akan tetapi, nalar efektifitas yang mendasari pengaturan pilkada secara serentak perlu dikritisi agar tidak terjebak pada praktik demokrasi prosedural yang teknokratis-mekanistik. 

Penyelenggaraan Pilkada perlu tetap dipahami dan dimaknai sebagai momentum politik untuk menguatkan kontrol terhadap kebijakan publik akan pengelolaan urusan-urusan publik. 

Pemahaman pilkada serentak sekedar sebagai instrumen untuk memilih para kepala daerah akan menjadikan pilkada serentak sebagai praktek polotik yang mekanistik.

Implementasi dari Pilkada serentak juga akan timbul suatu pertanyaan tentang masa depan politik representatif. Terkait melemahnya legitimasi partai politik di mata publik seolah terkonfirmasi dalam pengaturan penyelenggaraan Pilkada yang menempatkan partai politik sebagai suatu alat atau roda kendaraan politik untuk mengajukan bakal calon. 

Tidak adanya batasan bahwa bakal calon merupakan kader partai politik atau bukan justru Pilkada ini sangat membuka peluang politik transaksional yang makin mengukuhkan peluang kekuatan masyrakat tanpa menjadi suatu kader partai politik untuk maju dan berkontestasi di dalam Pilkada Serentak.

Oleh karena itu, kita semua patut menyadari bahwasannya Pilkada ini merupakan momentum kebersamaan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Adapun dalam pelaksanaannya di tengah pandemi yang dianggap persoalan, karena Pilkada dianggap akan menjadi klaster penularan covid, itu semua merupakan proses dialektika dalam kehidupan demokrasi kita.

Pro kontra itu biar menjadi diskursus bersama yang mana hakikatnya oleh KPU Sendiri akan diatur suatu aturan akan penertiban protokol kesehatan dalam seluruh tahapan Pilkada 2020. 

Jadi jangan khawatir ketika melaksanakan pilkada tatkala pandemi sebab ketika enggan untuk mencoba melaksanakan pilkada ditengah pandemi, kedepan nantinya kita akan ragu untuk mengatur suatu sistem regulasi kebijakan dalam situasi dan kondisi apapun.

Tulisan ini hadir sebagai bentuk penyederhanaan edukasi dimana hakikatnya Pilkada ini merupakan suatu harapan bagi masyarakat Indonesia. 

Yang mana dengan adanya pilkada serta kedepan terpilihnya suatu pemimpin baru yang lahir dari pesta demokrasi, diharapkan mampu menjadi pionier kebanggaan masyarakat dalam mengatur serta memberi kebijakan publik yang mana jelas tujuannya yakni demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. 

Sehingga jangan sampai ada lagi masyarakat yang antipati dan tidak antusias dalam pelaksanaan Pilkada. Kaeena bagaimanapun baik buruknya suatu daerah itu tergantung dari pilihan masyarakat itu sendiri. 

Jika memilih golput atau takut datang ke TPS, jangan sampai menyesal jika nanti yang terpilih adalah Kepala Daerah yang hanya bermodal duit banyak, tapi miskin gagasan. Terutama komitmen dengan program jitunya menangani dan mencegah penyebaran Covid-19 serta dampak sosial ekonominya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun