Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Fenomena Pecah Kongsi dan Alternatif Gagasan Kepala BPSDM

28 Agustus 2020   14:25 Diperbarui: 5 September 2020   17:48 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEBANYAK 90% kepala daerah pecah kongsi dengan wakilnya. Demikian disampaikan mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dalam sebuah diskusi tentang Pilkada di Jakarta, (11/2/2018) silam. 

Djohan menegaskan saat itu, pecah kongsi tidak boleh terjadi lagi. Konflik menurut Djohan, biasanya terjadi karena kepala daerah dan wakilnya sama-sama berasal dari partai politik. Kepala daerah yang berpasangan dengan wakil dari nonpartai biasanya lebih bisa bertahan lama.

Menurut data Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri: dari Pilkada 2005, 94% pecah kongsi, hanya 6% yang tidak pecah kongsi. Sejak 2005 sampai 2014, jumlah yang pecah kongsi 971. Yang tidak pecah kongsi 77.

Saat itu, ada desakan agar UU Pilkada direvisi karena mensyaratkan calon kepala daerah berpasangan. Dengan berpasangan, banyak kepentingan politik masuk. Syarat pasangan calon sebaiknya dikaji ulang dan direvisi menjadi monoeksekutif. Wakil diangkat oleh kepala daerah.

Hal tersebut saya saksikan fenomena di sejumlah daerah yang tak lama Pilkada, Walikota, Bupati atau Gubernur dengan para Wakilnya masing-masing kerap pecah kongsi baik di awal-awal, pertengahan maupun jelang akhir jabatan.

Di Depok misalnya, Walikota Depok Idris Abdul Shomad dengan Wakilnya Pradi Supriatna sejak awal hubungan keduanya sudah tidak harmonis. Kuat dugaan disinyalir karena ada pembagian 'kue' kekuasaan yang tidak terakomodir.

Pecah kongsi keduanya bisa diperhatikan dari baliho-baliho iklan layanan masyarakat yang dipasang di jalan raya Kota Depok, sang Walikota hanya memasang foto dirinya sendiri tanpa Wakil.

Tidak heran jika di akhir jabatan hingga jelang Pilkada, keduanya memilih bercerai dan kembali maju di Pilkada dengan pasangan berbeda.

Keributan Kepala Daerah baik itu Bupati, Walikota atau Gubernur dengan wakilnya memang sering terjadi, diantaranya: Bupati Kabupaten Kuantan Singingi di Riau, Sukarmis melawan wakilnya, Zulkifli, pada Februari 2016 lalu. Kemudian, antara Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie dengan wakilnya Udin Hianggio pada Oktober 2017.

Ada juga Bupati Tolitoli Mohammad Saleh Bantilan melawan wakilnya Abdul Rahman H Buding pada akhir Januari 2018, dimana Wakil Bupati Tolitoli Abdul Rahman yang datang secara tiba-tiba terlihat naik ke atas panggung dan menendang meja saat Mohammad Saleh memberikan sambutan di depan mimbar usai melantik empat orang pejabat struktural yang dipilih secara sepihak tanpa melibatkan sang Wakil. Hingga akhir masa jabatan tahun 2020, keduanya belum juga rekonsiliasi.

Fenomena tersebut dicapture secara ilmiah oleh disertasi Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri (BPSDM Kemendagri) Teguh Setyabudi yang berhasil dipertahankannya saat Sidang Terbuka Doktoral yang membuatnya meraih gelar Doktor Ilmu Pemerintahan dengan predikat cum laude dari Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), di Gedung Program Pascasarjana IPDN, Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Kamis (27/8/2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun